Mohon tunggu...
DEWIYATINI
DEWIYATINI Mohon Tunggu... Freelancer - freelance writer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tidak Pernah Ada Buku Panduan untuk Berduka

21 Mei 2024   22:04 Diperbarui: 21 Mei 2024   22:10 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman bercerita tentang istrinya yang masih berduka atas kehilangan anaknya. Padahal sudah setahun berlalu, dia masih saja berduka. Terakhir, tak hanya hati, badannya ikut terluka.

Si istri tak lagi memperhatikan dirinya. Ia masih terus larut dalam duka. Ia biarkan badannya sakit. 

"Saya sudah bawa dia ke dokter. Dokter bilang karena terlalu banyak pikiran," ujarnya.

Lantas, apa yang harus dia lakukan agar istrinya tak lagi larut dalam duka? 

Saya pernah berada di titik itu. Masih berada di duka yang sama. Saya juga kehilangan anak yang berusia dua tahun. 

Saya masih berduka. Masih sangat berduka. Saya tak akan sepenuhnya pulih dari duka dan luka. Seumur hidup.

Luka yang tersisa itu, rasa bersalah. Seorang ibu yang seharusnya mampu melindungi anak-anaknya, menyesal tak berkesudahan saat anak-anaknya meninggalkan lebih dahulu, terutama karena sakit.

Ia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal melindungi anaknya. Padahal kematian adalah takdir. 

Tapi biarkan dia dengan perasaannya itu. Itu tahapan yang harus dihadapinya untuk bisa menikmati luka dan duka sepanjang hidupnya. 

Selama tiga bulan, saya memilih tidur di tengah rumah. Saya enggan tidur di kamar yang biasanya menjadi tempat tidur bersama malaikat kecil. Saya sering terjaga karena biasanya si anak bayi merengek meminta susu. 

Di tiga bulan yang sama, saya lebih sering keluar rumah, sekadar keliling kota dengan sepeda motor bersama suami. Saya dan suami bukan orang yang pandai mempertontonkan kedukaan kami pada orang lain. Kami menikmati luka dengan cara masing-masing. Tapi yang sama, kami memulihkan batin kami dengan selalu bersama.

Tiga bulan berikutnya, saya memulai jogging. Lumayan ampuh bagi saya menikmati waktu sendiri. Kemudian ikut Thai Boxing, melepas segala beban berat dengan teriak, menghantam, meninju, dan menendang. Semakin kencang berteriak, hati semakin lega.

Hati saya sedikit demi sedikit pulih. Meski rasa marah tetap ada. Bukan marah pada Tuhan, tapi marah pada diri sendiri. Setiap hari saya selalu bicara sendiri, tentang anak itu titipan. Tuhan kembali mengambilnya bukan karena kecewa, tapi karena merasa ujiannya untuk saya sudah cukup. Ada ujian berikutnya yang lebih berat tapi pasti bisa dilewati. 

Saya tidak benar-benar pulih. Ada kalanya saya merindukan merasai luka, tapi memaknainya dengan jauh lebih jernih. Saya sudah siap menjadi pendengar orang yang terluka. Dengan mendengar, saya tak lagi egois, menganggap diri sebagai orang yang paling berduka atas kehilangan anak. Banyak yang sayang pada anak saya, dan mereka juga merasa kehilangan. 

Ingatlah, tidak ada yang salah pada berduka. Tidak ada panduan yang menentukan batas waktu untuk berduka. Izinkan diri untuk berduka. Terima segala emosi, baik itu kesedihan, kemarahan, kebingungan, atau bahkan rasa lega. Mengakui dan merasakan emosi adalah bagian penting dari proses penyembuhan.

Tidak setiap duka butuh perayaan untuk semacam closure. Saya membiarkan duka dan luka itu ada karena dengan itu kenangannya tetap tersimpan. Menghadapi duka adalah proses yang sangat pribadi dan berbeda bagi setiap orang. 

Menghadapi duka adalah perjalanan yang penuh tantangan, tetapi dengan dukungan yang tepat dan perawatan diri, dapat melalui masa-masa sulit ini. Ingatlah bahwa tidak ada cara yang 'benar' atau 'salah' untuk berduka, dan yang terpenting adalah menemukan cara yang paling mendukung proses penyembuhan itu sendiri.

Kami butuh pelukan dan tempat bersandar. Meyakinkan diri tidak benar-benar sendiri ketika berduka dan memulihkan diri dari luka.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun