Masalah kekerasan seksual yang semakin sering terjadi di kampus menjadi hal yang penting untuk diperhatikan oleh masyarakat dan institusi terkait. Meskipun kasus ini sering hanya mendapatkan perhatian yang singkat, dampak yang ditimbulkan pada korban bisa sangat serius, seperti membatalkan perkuliahan, mengubah rencana akademik, atau bahkan harus berhenti kuliah.
Kejadian pelecehan seksual di kampus kembali heboh di Kota Bandung. Ramai berita dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Syarif Maulana. Kasus ini mencuat setelah sebuah unggahan di media sosial X pada 9 Mei 2024 membongkar dugaan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh dosen Filsafat tersebut.
Dalam unggahan tersebut, sejumlah mahasiswi Unpar mengaku menjadi korban pelecehan seksual berupa pesan-pesan cabul dan ajakan berhubungan badan dari Syarif Maulana. Tidak hanya sebatas tuduhan, pelaku sendiri, Syarif Maulana, mengakui perbuatannya dan menegaskan bahwa ia memang telah melakukan sejumlah tindakan yang diduga sebagai pelecehan seksual.
Universitas Katolik Parahyangan segera merespons kasus ini dengan tegas. Dalam siaran pers yang dikeluarkan, pihak Unpar menyatakan bahwa Syarif Maulana telah diberhentikan dari semua aktivitas akademik maupun non-akademik di lingkungan universitas. Langkah ini diambil untuk menjaga integritas dan keamanan lingkungan kampus serta memastikan bahwa tindakan serupa tidak terulang kembali.
Dalam tulisan tentang kekerasan seksual di kampus yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 4 No. 04 April 2023, survei yang dilakukan oleh ditjen dikti pada tahun 2020, sebanyak 77% dari dosen mengakui adanya kekerasan seksual yang terjadi di kampus, di mana 63% dari mereka tidak melaporkan kekerasan yang mereka ketahui. Korban kekerasan seksual di kampus umumnya adalah perempuan, dan pelakunya adalah civitas akademika kampus itu sendiri.Â
Banyak dari korban atau penyintas kekerasan seksual di kampus tidak berani melaporkan kejadian tersebut karena takut diperlakukan secara negatif atau dianggap "memalukan" oleh warga kampus, bahkan takut dikeluarkan dari kampus. Selain itu, tidak ada aturan yang mengikat untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus, yang membuat korban kekerasan seksual semakin tidak berani untuk berbicara.
Tidak heran terbit "Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 telah diterbitkan dengan tujuan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Aturan ini ditandatangani oleh Menteri Nadiem Makarim pada tanggal 31 Agustus 2021 dan mulai berlaku pada tanggal 3 September 2021.
Dalam Permendikbudristek Nomor 30/2021, selain menetapkan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual, juga diatur tentang tindakan pendampingan, perlindungan,  dan  pemulihan  korban  kekerasan  seksual  di  lingkungan perguruan tinggi. Pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi akan dikenai sanksi administratif dan dapat dipecat atau diberhentikan dari pekerjaannya.Â
Pada lingkungan kampus, diketahui bahwa hubungan antara dosen dan mahasiswa cenderung tidak seimbang, dengan dosen yang berada dalam posisi superior dan mahasiswa yang berada dalam posisi subordinat. Sebagai akibatnya, mahasiswa yang tidak memiliki posisi yang setara dengan dosen dapat merasa tidak berdaya dan lemah ketika menghadapi tindakan tidak senonoh dari beberapa dosen.Â
Banyak dosen yang memanfaatkan momen seperti saat mahasiswa konsultasi atau mengikuti ujian untuk melakukan tindakan yang tidak pantas dan memuaskan hasrat seksual mereka.Â