Mohon tunggu...
DEWIYATINI
DEWIYATINI Mohon Tunggu... Freelancer - freelance writer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Normalisasi Nyawa Melayang Tidak Wajar dengan Sebutan Takdir

12 Mei 2024   15:40 Diperbarui: 12 Mei 2024   16:11 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Pexels.com

Dulu di media sosial Twitter, ada yang disebut "twitwar". "Twitwar" adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada konflik atau pertengkaran yang terjadi di platform media sosial Twitter. Istilah ini terbentuk dari penggabungan kata "tweet" (pesan yang diposting di Twitter) dan "perang" (konflik atau pertempuran).

Twitwar biasanya terjadi ketika dua atau lebih pihak saling berdebat atau bertengkar secara terbuka di Twitter, sering kali dengan pesan yang panas dan penuh emosi. Konflik ini bisa berkembang dari berbagai topik, mulai dari politik, hiburan, olahraga, hingga isu-isu sosial.

Nah, kalau di Instagram, disebut apa ya? 

Oke, saya membahas ini dengan konteks diskusi yang masih ada kaitannya dengan kecelakaan bus rombongan siswa di Subang sepulang merayakan perpisahan. Saya bukan lagi orang yang diam saja ketika scroll media sosial. Menyampaikan isi kepala baik itu persetujuan atau perbedaan pendapat, akan membuat saya tetap waras.

Singkat cerita, saya membalas komentar di salah satu postingan berita yang membahas tentang kecelakaan bus. Komentar itu menyebutkan kecelakaan itu sudah takdir. Saya menyampaikan pendapat saya, agar tidak mengaitkan kematian akibat kecelakaan dengan takdir. 

"Kematian memang takdir, tapi kalau rusaknya rem blong karena kelalaian bisa disebut kejahatan," begitulah saya berkomentar. 

Akhirnya komentar itu merembet pada bahasan itu merupakan kegiatan study tour, yang masih saya bantah dengan mengatakan itu kegiatan perpisahan yang tentunya jauh berbeda dengan study tour. 

Lama-lama ini bukan lagi diskusi, tapi jadi perang yang tak tentu arah. Jadi debat kusir yang kusirnya tidak punya background untuk mengendalikan kudanya. Saya merasa memang harus disudahi ketika dia bawa-bawa akun centang biru yang katanya memberi label itu sebagai study tour.

Suami saya yang menyimak perdebatan karena saya perlihatkan langsung menanggapi, "bilang aja kamu itu bertahun-tahun liputan di bidang itu jadi kamu tahu perbedaan antara study tour dengan perpisahan."

Saya tidak mau terseret ke dalam perang yang tak jelas dan cuma jadi bahan tertawaan netizen lain memilih mengakhiri dengan perkataan saya tidak sanggup kalau harus membantah akun centang biru. Jumlah follower saya kalah, tsay!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun