Semalam, suara sirine ambulans yang hilir mudik di sekitar jalan besar di dekat rumah kerap terdengar. Rasanya bikin merinding. Karena saya menyadari itu tanda kecelakaan besar.Â
Kendaraan tersebut bolak-balik membawa korban baik yang luka maupun kehilangan nyawanya setelah terjadi kecelakaan bus terguling di wilayah Ciater, Kabupaten Subang. Nahasnya, bus itu membawa siswa-siswi SMK yang tengah menghabiskan waktu dalam kegiatan perpisahan.
Sebanyak 10 anak dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa menyedihkan itu. Satu orang pengendara motor, turut tewas dalam peristiwa tersebut.Â
Berdasarkan sejumlah informasi dari berita-berita yang saya baca, rombongan siswa dari SMK dari Kota Depok itu baru saja menyelesaikan acara perpisahan sekolah di Kota Bandung. Malamnya, mereka berencana pulang ke Kota Depok, melalui jalan tol Cipali sehingga melintasi jalan di wilayah Subang lebih dulu.Â
Nahasnya, bus terguling. Diduga karena rem blong sehingga pengemudi bus tidak mampu mengendalikan kendaraan.Â
Kondisi bus yang sudah terguling itu beredar dalam bentuk video di media sosial. Teriakan dan kepanikan menjadi suara latar. Berikutnya, gambar-gambar anak sekolah yang tergeletak dengan kondisi yang tak seharusnya dibagikan juga beredar.
Konon dari berita juga disebutkan kalau bus yang mereka tumpangi itu tidak laik jalan. Mereka belum lolos dari uji ramp oleh Dinas Perhubungan di daerah terkait.
Kematian memang takdir, tapi mungkin tidak seharusnya seperti itu. Sehingga muncul pertanyaan di benak: kenapa untuk menyelenggarakan perpisahan saja harus menempuh perjalanan jauh hingga ke luar kota, bahkan keluar provinsi?
Karena saya yakin, ini bukan permintaan dari siswa untuk menyelenggarakan perpisahan jauh dari kota tempat mereka tinggal. Belum lagi kita bicarakan besaran biaya yang harus digelontorkan orang tua. Namun, apa jaminan kalau mereka akan kembali dengan selamat? Sekali lagi, kematian itu memang takdir.
Perpisahan, sejatinya, bagi mereka yang tidak akan bertemu lagi. Tapi ini itu perpisahan sekolah. Mereka bisa bertemu lagi, baik antar siswa maupun dengan guru. Bahkan mereka bisa merancang reuni untuk kembali bertemu atau bersilaturahmi saat ada waktu luang.
Perpisahan itu untuk memberi kenangan manis, itu kadang jadi dalih. Bersama selama 3 tahun di sekolah, apa tidak meninggalkan banyak kenangan baik pahit atau pun manis daripada kegiatan perpisahan yang hanya beberapa hari. Kenyataannya, perpisahan kali ini, bagi siswa dan orang tuanya, akan meninggalkan rasa trauma yang selalu membekas.
Besaran biaya yang dikeluarkan juga tidaklah sedikit. Saya pernah bertemu rombongan siswa SMP dari Kota Bekasi yang katanya, ikut study tour selama sehari tanpa menginap ke wilayah Bandung Barat. Setiap anak dibebankan biaya hingga Rp500 ribu. Cukup berat bagi orang tua untuk menyediakan uang sebanyak itu, ditambah uang bekal yang diberikan pada anaknya.
Ketika pihak sekolah meminta izin untuk menyelenggarakan aktivitas di luar sekolah bahkan di luar kota, syarat apa yang diberikan pemerintah daerah?
Pemerintah daerah seharusnya mengeluarkan izin yang ketat bagi sekolah yang ingin membuat kegiatan di luar kota. Misalnya, izin itu harus dilengkapi rencana awal yang dirancang sekolah sebagai kegiatan tahunan. Perpisahan kan, biasanya diselenggarakan jelang tahun ajaran.Â
Dalam rancangan itu akan termuat, rencana kemana mereka akan pergi (ittenary), berapa lama, menginap atau tidak, berapa guru yang mendampingi, bagaimana konsep mendampinginya, dan hasil apa yang diraih.
Kemudian sebagai akomodasi, kendaraan yang akan digunakan, jalurnya seperti apa, termasuk bagaimana di perjalanan. Seharusnya pihak sekolah memberikan jaminan atas keselamatan siswa, ya, salah satunya, pihak pengelola kendaraan yang disewa.
Terkadang rencana kegiatan hanya dibiarkan sambil berjalan. Yang terpenting, pihak sekolah akan mengadakan perpisahan ke kota anu dan segini biayanya.
Padahal orang tua menitipkan anak-anaknya di luar kepada sekolah. Sehingga saat terjadi sesuatu, pihak sekolah harus bertanggung jawab.
Seperti saat terjadi kecelakaan di perjalanan, tidak hanya pihak penyebab kecelakaan yang dijadikan tersangka, tapi seharusnya dengan pihak sekolah juga. Karena kalau dilihat dalam gambaran besar, ada keterlibatan sekolah dalam pemilihan akomodasi kendaraan juga kelalaian pihak sekolah memastikan keamanan kendaraan.
Sudah sepatutnya, pihak pemerintah daerah terutama Dinas Pendidikan lebih aware terhadap kegiatan seperti ini. Karena tidak sepatutnya anak-anak menjadi korban karena kecelakaan yang terjadi akibat kelalaian.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H