Tinggal belasan tahun di dekat Gunung Tangkuban Perahu dan Sesar Lembang, jadi terbiasa dengan kabar bohong atau hoaks yang mengiringi ketika ada gunung api meletus atau gempa bumi.Â
Tidak heran, bila meletusnya Gunung Ruang akan dikaitkan dengan Sesar Lembang dan Gunung Tangkuban Prahu. Tidak aneh juga bila tiba-tiba beredar video erupsi Gunung Tangkuban Prahu 2019 yang dinarasikan sedang terjadi saat ini.
Ini tugas berat bagi kami yang tinggal berdekatan dengan Sesar Lembang dan Tangkuban Prahu yang harus mengklarifikasi informasi bohong tersebut. Kami yang di sini adem ayem, sementara yang berada di kota lain, malah heboh.
Kabar bohong atau hoaks itu geger justru bukan di daerah kami. Tapi biasanya di daerah tetangga seperti Kota Bandung dan Kota Cimahi.
Kabar itu bukan berasal dari media mainstream. Mana berani mereka membuat berita hoaks. Yang ada, dari media-media berbasiskan komunitas di Instagram. Mungkin tujuannya biar dapat banyak like dan engangement.
Judul artikelnya menakutkan, seolah-olah gempa bumi akan segera datang. Gempa bumi itu akan memicu Gunung Tangkuban Prahu meletus. Bahkan disebutkan daerah mana saja yang akan rata dengan tanah.
Saya sering menulis artikel tentang gempa bumi dan Sesar Lembang, permintaan dari beberapa portal. Selain mewawancarai pakar-pakar Geologi dan gunung api, saya juga harus membaca banyak jurnal ilmiah untuk menyokong tulisan.
Hasilnya, ya, Sesar Lembang aktif dan bisa menyebabkan gempa bumi tapi entah kapan. Demikian juga gunung api yang aktif akan meletus, tapi tidak tahu waktu terjadinya.
Namun, gempa bumi yang terjadi di daerah lain tidak serta merta akan menular ke daerah lainnya. Begitu pun gunung meletus, tidak akan membuat gunung yang lain latah untuk turut meletus.
Kabar-kabar bohong yang beredar di media sosial, bukanlah sarana edukasi. Yang ada hanyalah teror untuk menakut-nakuti.Â
Pernah beberapa kali, saya sengaja memberikan komentar yang mungkin bisa disebut mengomel ala ibu-ibu terhadap anaknya. Komentarnya berkaitan dengan meminta menghentikan menakut-nakuti. Atau setidaknya jangan hanya menakut-nakuti tapi selesaikan dengan memberikan solusi.Â
Misalnya, memberikan gambaran apa yang harus kami siapkan agar tidak panik ketika masa darurat. Atau bisa juga diberikan gambaran, jalur evakuasi mana yang bisa kami lintasi untuk mencapai lokasi yang aman, baik dari jalur aliran lava atau dari gempa bumi.
Namun hingga saat ini, tidak pernah ditemukan edukasi semacam itu. Kehebohan hanya sekadar latah karena bencana di tempat jauh membuat kami goyah sesaat. Kami tenggelam pada kalimat, "seandainya itu terjadi sekarang, bagaimana?".Â
Akan tetapi itu tidak membuat saya menyerah untuk mengedukasi para mediagram ini agar mampu menghentikan kabar bohongnya. Stop menjadikan bencana sebagai wahana meraih like dan engangement.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H