Hari ini, ada permintaan untuk menuliskan tentang putusan sengketa Pemilihan Presiden (pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Tentunya, saya kudu menyimak persidangan dan mencatat sejumlah poin penting yang akan jadi perhatian.Â
Yang menjadi sorotan saya dari sidang di MK, terkait dengan dissenting opinion tiga hakim. Ketiga hakim ini Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Saya hanya menyimak opini dari dua hakim karena hal yang memalukan, tiba-tiba ketiduran di tengah menyimak sidang.
Dari pandangan saya, meskipun gugatan disampaikan poin per poin tapi saat memutus seharusnya diletakkan dalam satu kesatuan. Seperti yang disampaikan hakim Saldi Isra, bahwa ini harus dipandang sebagai satu kesatuan, adanya sebab dan akibat.Â
Dua hal yang digarisbawahi Saldi Isra adalah variabel nonelektoral bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN). Dua hal itu tidak bisa dibuktikan dengan menyebutkan angka perolehan suara sebagai hasil. Yang perlu dilihat adalah prosesnya sebagai hal yang substantif.Â
Misalnya untuk bansos, apakah setiap tahun penyaluran bansos harus dilakukan oleh presiden atau oleh para menteri yang sebenarnya bukan leading sector dari program? Ada perlakuan yang berbeda dalam bansos yang disalurkan di waktu yang berdekatan dengan pelaksanaan pemungutan suara.Â
Presiden yang jelas-jelas bukan bagian dari tim sukses memiliki keleluasaan di balik jabatannya. Ia bukan sedang berkampanye. Ia sedang melaksanakan program kerjanya. Sedangkan para menteri yang merupakan pembantunya, jelas-jelas berkampanye dengan berkamuflase di balik pembagian bansos. Bukankah mereka memiliki tupoksi yang jelas dari kementeriannya masing-masing?
Berikutnya terkait mobilisasi ASN, yang memang selalu jadi senjata saat berkampanye. Ketika ditemukan, akan diproses di KASN. Namun, berdampak terhadap penyelenggaraan pemilu? Tidak!
Lagi-lagi saya akui ucapan Saldi Isra itu benar ketika ia menyebutkan di masa orde baru, pemilu dilaksanakan sesuai dengan aturan. Tapi apa sesuai dengan kalimat "Pemilu Jujur dan Adil" yang selalu diagung-agungkan?Â
Pemilu yang jujur dan adil itu tidak hanya slogan. Jujur itu tidak ada lagi kecurangan dan upaya manipulasi baik oleh peserta, penyelenggara, dan pengawas. Adil itu tidak juga hanya untuk peserta, penyelenggara, dan pengawas. Bagi peserta, mereka harus berada di level yang setara saat bertarung. Pemilih harus diperlakukan adil, memilih tanpa intimidasi. Penyelenggara juga harus mampu berbuat adil dengan tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap siapapun.Â
Saat ada sengketa, MK memiliki kewenangan untuk mengadili hingga proses pemilu. MK tidak lagi hanya menyelesaikan sengketa angka-angka. Tapi menjadi penjaga pintu terakhir demokrasi mengawal pemilu hingga jujur dan adil.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H