Kisah Anindita Puspita, istri dari seorang dokter TNI yang membeberkan dugaan perselingkuhan suaminya dengan lima perempuan menjadi viral, setelah Anindita dijerat Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Anindita sampai ditahan dan membawa bayinya yang masih berusia 1,5 tahun karena masih menyusui.Â
Anindita merupakan istri sah dari dokter gigi berinisial MHA berpangkat Lettu CKM TNI Angkatan Darat yang berdinas di Satuan Kesdam/Udayana.
Ia ditahan berdasarkan laporan di Polresta Denpasar. Anindita ditangkap di SPBU Jalan Transyogi Cibubur, pada kamis 4 April 2024. Laporan polisi itu sendiri dibuat pada 21 Januari 2024.Â
Awal kasus perselingkuhan mencuat bulan Maret 2023 lalu sudah langsung ditangani Pomdam/Udayana. Dia mengunggah kasus perselingkuhan suaminya dengan 5 wanita ini hingga viral di media sosial. Salah satu selingkuhannnya diduga adalah anak Perwira Menengah Polri yang saat ini menjabat Kapolresta di sebuah wilayah.
Memviralkan sebuah kasus tidak hanya melulu untuk mencari sensasi. Tapi terkadang itu merupakan upaya terakhir agar ia didengar dan mendapat keadilan.Â
Lihat saja waktu dia melaporkan perselingkuhan suaminya ke instansi tempat suaminya bekerja. Ada harapan, ia mendapatkan keadilan dengan melaporkan perilaku suaminya tersebut. Selain telah melanggar ikrar pernikahan, dia juga telah menelantarkan istrinya.Â
Lima perempuan diduga menjadi selingkuhannya. Mungkin dengan meminta bantuan dari netizen, tidak hanya mendesak instansi tempat suaminya bekerja untuk menghukum suaminya. Akan tetapi, ia ingin mengetuk hati para perempuan yang diduga menjadi selingkuhan suaminya untuk berempati terhadapnya sebagai sesama perempuan.
Dulu, ada sebuah kata yang menjadi mantera para pencari keadilan di media sosial: "Twitter, please do your magic." Ibarat magic word, kalimat itu akan disambut meriah oleh warganet sehingga kasus menjadi viral. Harapannya, dengan menjadikan kasusnya viral, akan diprioritaskan penanganannya.Â
Tidak sedikit kasus pidana yang dinilai ditangani dengan cepat dan putusan yang memenuhi keadilan masyarakat setelah kasusnya diviralkan. Masyarakat seakan hilang kepercayaan pada penegak hukum. Sehingga perlu campur tangan warganet untuk mendesak penanganan hukum.
Guru besar hukum pidana Universitas Islam Bandung (Unisba) Prof. Edi Setiadi tidak mempersoalkan bila para pencari keadilan mencari dukungan agar kasusnya segera mendapatkan kepastian. Meskipun kondisi terburuknya, ketika kasus viral segera ditangani, anggapan penegak hukum tebang pilih menangani kasus akan terus terpatri dalam ingatan masyarakat.Â
Pemicu banyaknya kasus viral itu karena respon lambat penegak hukum yang bisa disebut tidak profesional. Edi mengatakan meskipun penegak hukum ini sudah ditunjang dengan pendidikan tambahan tapi sistem hukum tidak bisa mengembangkan fungsinya.Â
Edi memaparkan selain menilai adanya penyimpangan, keinginan kasus jadi viral karena lambatnya penanganan kasus. Edi mengatakan memang ada batasan penyelesaian setiap kasus pidana dan perdata. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.Â
"Para pelapor menjadi jengah dengan lambatnya penanganan kasus. Apalagi mengingat seringkali berkas bolak-balik baik dari polisi maupun kejaksaan. Belum lagi permohonan upaya hukum yang seakan tiada ujungnya. Padahal setiap perkara itu ada ujungnya," lanjut Edi.Â
Belum lagi persoalan biaya penanganan hukum. Prinsip murah dalam penanganan perkara, kata Edi, tidak sepenuhnya benar. Edi mencontohkan di Amerika Serikat untuk biaya proses hukum bisa menghabiskan dari APBN, tersebar untuk penyediaan pengacara.Â
Edi mengatakan saat ini masyarakat dinilai mulai melek hukum tetapi penegak hukum belum bisa merespon dengan baik dan cepat. Kendati demikian diakui Edi, memang ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan dengan cepat dalam penanganan kasusnya.Â
Ia mencontohkan pada kasus di mana terdapat banyak tersangka yang memerlukan waktu penanganan lebih lama. Namun karena terbentur aturan masa penahanan, beberapa tersangka dilepas demi hukum karena habisnya masa penahanan. Tentunya, masyarakat terutama korban akan meradang karena rasa keadilannya tidak terpenuhi.Â
"Belum lagi penegak hukum ini masih berpegang pada aturan tertulis. Jarang yang menjadikan nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai pegangan," katanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H