Pemicu banyaknya kasus viral itu karena respon lambat penegak hukum yang bisa disebut tidak profesional. Edi mengatakan meskipun penegak hukum ini sudah ditunjang dengan pendidikan tambahan tapi sistem hukum tidak bisa mengembangkan fungsinya.Â
Edi memaparkan selain menilai adanya penyimpangan, keinginan kasus jadi viral karena lambatnya penanganan kasus. Edi mengatakan memang ada batasan penyelesaian setiap kasus pidana dan perdata. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.Â
"Para pelapor menjadi jengah dengan lambatnya penanganan kasus. Apalagi mengingat seringkali berkas bolak-balik baik dari polisi maupun kejaksaan. Belum lagi permohonan upaya hukum yang seakan tiada ujungnya. Padahal setiap perkara itu ada ujungnya," lanjut Edi.Â
Belum lagi persoalan biaya penanganan hukum. Prinsip murah dalam penanganan perkara, kata Edi, tidak sepenuhnya benar. Edi mencontohkan di Amerika Serikat untuk biaya proses hukum bisa menghabiskan dari APBN, tersebar untuk penyediaan pengacara.Â
Edi mengatakan saat ini masyarakat dinilai mulai melek hukum tetapi penegak hukum belum bisa merespon dengan baik dan cepat. Kendati demikian diakui Edi, memang ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan dengan cepat dalam penanganan kasusnya.Â
Ia mencontohkan pada kasus di mana terdapat banyak tersangka yang memerlukan waktu penanganan lebih lama. Namun karena terbentur aturan masa penahanan, beberapa tersangka dilepas demi hukum karena habisnya masa penahanan. Tentunya, masyarakat terutama korban akan meradang karena rasa keadilannya tidak terpenuhi.Â
"Belum lagi penegak hukum ini masih berpegang pada aturan tertulis. Jarang yang menjadikan nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai pegangan," katanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H