Aku bukan penikmat kopi. Tapi sejak hamil anak ketiga, tiba-tiba jadi suka kopi. Bahkan lebih suka dengan ampas kopi. Jangan tanya kenapa.
Meski mulai suka kopi, harus jadi orang pemilih juga. Tidak sembarangan kopi yang ku cicip. Aku lebih memilih kopi hitam tanpa gula. Akan lebih baik kalau kopi itu tanpa ampas.
Karena mulai menyukai kopi, bila di sebuah acara disuguhkan kopi khas daerah, rasanya rugi bila tidak bertanya-tanya dan mencicipinya.
Saat ada acara Perhutani dan Kementerian Lingkungan hidup di Cikole, Lembang, aroma kopi membawaku menjadi tester. Kopi Maguru nama kopi yang kucicip saat itu. Katanya ini kopi khas Cikole Jayagiri, yang ada di Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Rahmat Maliki (57), menjadi orang keempat yang melanjutkan usaha kopi yang dimulai oleh kakek neneknya di Cikole Jayagiri. Jadi apa yang membedakan kopi Arabica Maguru dengan kopi Arabica lainnya?Â
Sejak dirintis pada 1966, kopi Maguru dikemas sachetan. Dalam kemasan untuk diseduh satu cangkir itu, komposisinya kopi Arabica dan gula aren.
Ada sebuah keunikan dari kopi ini, yakni komposisi kopi dan gula itu sudah diracik dari awal mereka memulai usaha.
Dari awal, kata Maliki, kopi Maguru memang disajikan dengan konsep mudah dan sederhana. Maliki mengatakan, keluarganya sebagai produsen menginginkan penikmat kopi Maguru mudah mencicipi kopi yang masih dikelola dengan cara tradisional itu.
Maliki menyebutkan banyak orang yang penasaran dengan merek Maguru yang diselipkan pada kopi tersebut. Ia mengatakan kedua orang tuanya berprofesi guru. Namun mereka memang sudah lama bergelut di bidang kopi.Â
"Karena banyak yang mengenal sebagai kopi buat ema guru, maka kami buat jadi nama yang mudah, yakni kopi Maguru," ucapnya.
Maliki tidak bisa berpaling dari garis nasibnya sebagai penerus usaha kopi. Dari lahir dan tumbuh remaja, ia melihat pertumbuhan usaha keluarganya di bidang kopi ini. Maliki menyaksikan proses pengolahan kopi yang masih manual sehingga ia belajar untuk mempertahankan usaha keluarganya.Â
Para pelanggan harus datang langsung karena Maliki tidak menjual kopi Maguru secara online. Kopi yang diolah secara manual itu, rata-rata berproduksi 2-3 ton tiap tahunnya. Ia khawatir tidak mampu memenuhi pesanan pelanggan bila menjualnya secara online. Sehingga ia tetap mempertahankan model penjualan juga secara turun-temurun.
Kopi Maguru ini dijual dengan harga Rp75.000 tiap 200 gram itu paling jauh sudah pernah ia jual ke Singapura. Saat ini, Maliki belum tergiur untuk ekspor lebih jauh karena masih memenuhi kebutuhan lokal.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H