SETIAP pemilihan umum (Pemilu) yang selalu digembar-gemborkan, salah satunya, upaya untuk menggaet pemilih muda atau pemilih pemula. Rasanya tidak adil, bagi pemilih perempuan atau emak-emak.Â
Kampanye untuk pemilih muda selalu dikemas dalam pendidikan politik. Sementara untuk pemilih emak-emak, dikemas dalam kegiatan apa? Pemberian kredit tanpa bunga dengan cicilan ringan?
Sebetulnya kaum perempuan ini bukan pemilih emosional. Mereka adalah pemilih rasional. Buktinya, seorang emak sangat berpikir rasional dalam mengelola keuangan rumah tangga dengan berbagai tuntutan yang emosional berada di dalamnya.Â
Meskipun uang diberikan dari suami, tapi kaum emak-emak yang memastikan uang itu cukup. Anak tidak terlantar, sekolahnya terbayar. Suami tetap mampu bekerja, dengan bekal makan dan transportasi cukup untuk bekerja. Tapi porsi perhatian untuk pemilih perempuan di mana?
Partisipasi politik perempuan dalam masyarakat yang dipisahkan gender di mana perempuan memiliki status sosial yang tidak proporsional dalam budaya patriarki yang kuat dan sistem politik. Feminitas, sosialisasi politik, kepentingan politik, kemanjuran politik, dan budaya politik patriarki diambil sebagai prediktor untuk menilai partisipasi politik perempuan.Â
Sebenarnya, isu-isu perempuan seringkali tidak dilirik. Padahal biasanya, jumlah pemilih perempuan ini lebih banyak. Tapi, tawaran program untuk kalangan perempuan ini, tidak mewakili. Ditambah lagi, keterwakilan perempuan dalam pemilu, masih sebatas formalitas.
Padahal isu-isu perempuan itu, sangat banyak. Misalnya untuk usia rentang 17-29 tahun, isu pendidikan, lapangan kerja yang berpihak pada perempuan, kebijakan ketenagakerjaan bagi perempuan, tidak banyak disorot. Kemudian, usia 30 tahun ke atas, isu-isu perempuan bekerja dan di rumah juga sebetulnya kaya dengan minim penanganan.Â
Para perempuan ini, rentan dengan penyakit mental. Bagi ibu di rumah, dengan atau tanpa anak, memiliki kerawanan mengalami penyakit mental. Selain itu, mereka mengalami kejenuhan dengan aktivitas fisik.Â
Tidak jarang perempuan bekerja, bukan hanya bekerja untuk dirinya tapi juga untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Belum lagi, yang memiliki anak, tetap harus menjalankan perannya sebagai ibu di rumah.
Hak-hak perempuan di publik juga belum banyak terfasilitasi. Apalagi di masa pemilu, perempuan hanya dijadikan komoditas politik tanpa meninggikan martabatnya. Malahan banyak kandidat calon yang merendahkan martabat perempuan dengan money politics. Menganggap suara mereka sebatas lembaran rupiah.
Padahal, perempuan adalah madrasah pertama generasi bangsa. Perempuan adalah sosok pertama yang paling mempedulikan kesejahteraan anggota keluarganya. Dengan kata lain, perempuan adalah sosok yang memiliki peran besar memajukan negara.
Namun, seberapa peduli para kandidat itu dengan perempuan?Â
Isu stunting, pernikahan dini, dan isu perempuan lainnya hanya sekadar etalase dalam visi misi. Tidakkah mereka tahu, sebagai ras terkuat di dunia, mudah bagi perempuan menghancurleburkan sebuah bangsa?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H