Mohon tunggu...
DEWIYATINI
DEWIYATINI Mohon Tunggu... Freelancer - freelance writer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Takdir Warung Bu Nano Sudah Usai, Berjasa Sesuai Kemampuan dan Kebutuhan

30 September 2023   20:12 Diperbarui: 30 September 2023   20:17 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Bu Nano/Dewi Yatini

Ibu Nano adalah istri dari ayah saya. Juga perempuan yang melahirkan saya dan dua adik saya. Warung adalah jalan ninja Bu Nano lari dari kesulitan finansial. Mungkin sepanjang hidupnya, jika ditulis dalam curriculum vitae, warung akan menempati pekerjaan terlama yang dilakoni Ibu Nano.

Mari dipersingkat saja sebutannya jadi Bu Nano, seperti panggilan kebanyakan orang saat mampir ke warungnya. Periode pertama, Bu Nano memulai membuka warung, kurang saya hapal awal dan kisahnya, karena ketika itu saya masih bayi di bawah tiga tahun. Tapi, itu pilihan yang diambil Bu Nano setelah menikah dengan almarhum Pak Nano. 

Nah, periode kedua, Bu Nano membuka warung saya hapal betul dengan detail. Ada beberapa peristiwa yang membuat Bu Nano sempat jeda mengelola warung. Selain karena kami pindah rumah dari kontrakan, juga karena Bu Nano memilih bekerja sebagai operator mesin rajut. Sementara Pak Nano tetap bertahan dengan pekerjaannya sebagai operator mesin tekstil. 

Hingga satu hari di tahun 1992, Pak Nano memilih resign karena penyakit asam uratnya yang selalu kambuh. Tidak lama pabrik tempat Pak Nano hampir bangkrut sehingga memindahkan pabrik ke wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung. 

Mungkin karena pabrik saat itu banyak yang bermasalah, pabrik tempat Bu Nano ikut-ikutan tutup. Apalagi pabrik rajut Bu Nano tidak berizin. Para pegawainya tidak mendapatkan pesangon yang layak. Mereka diberikan gulungan kain dakron sebagai pengganti pesangon. Jika ingin mendapatkan uang, gulungan kain dakron itu tinggal dijual, yang harganya tidak seberapa. 

Tapi pesangon keduanya tidak mungkin sanggup membiayai kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya. Saat itu, saya hampir menyelesaikan sekolah dasar dan adik saya masih kelas 3 SD. Keduanya memutuskan: mari kembali berjualan seperti dulu.

Di awal, bukan warung yang dibuka. Tapi sebuah roda yang berisikan dagangan warung kelontongan dipajang di depan rumah. Setiap pagi, kami bersama mengeluarkan dan menata barang dagangan. Malam harinya, kembali bersama memasukkan barang dagangan dan menatanya di ruang tengah rumah. 

Sebagian kamar di rumah, disewakan pada pegawai pabrik yang bekerja dengan Pak Nano. Baru setelah mereka pindah seiring kepindahan pabrik ke Rancaekek, satu kamar dirombak menjadi warung. Warung masih ditutup dengan bilah kayu yang ada nomor-nomornya itu. 

Barang dagangan warung semakin lengkap. Bahkan Bu Nano menambahkannya dengan sayur-mayur. Bahkan saat saya SMA, Bu Nano berjualan mie baso. Untuk tambah-tambah biayai kebutuhan sekolah karena adik saya juga masuk SMP. Sayang tidak bertahan lama, karena banyak tukang bakso keliling dan cuanki yang jadi saingan. 

Saat saya selesai SMA, kebutuhan keuangan semakin naik drastis karena saya masuk kuliah dan adik saya masuk SMA. Ditambah ada adik bungsu yang akan masuk SD. Solusinya, Bu Nano berjualan nasi dan lauk pauk. Dengan demikian, sayuran yang tidak terjual tidak akan menjadi sampah. Karena selama ini, sisa sayuran ini Bu Nano sering bagikan ke tetangga. 

Sayangnya sebuah kejadian membuat modal yang dikumpulkan Bu Nano berkurang tajam. Akibat terlalu sering keluar subuh ke pasar, Bu Nano didiagnosis mengalami paru-paru basah sehingga cairan di paru-paru harus disedot. Bu Nano juga harus menjalani berobat jalan selama setahun. Obat yang harus ditebus tiap bulan lumayan menyedot modal untuk berjualan. 

Pak Nano yang semula membantu memasak, sampai harus mencari pekerjaan tambahan. Pak Nano bekerja di keluarga kakaknya. Sementara saya, sesekali membantu Bu Nano memasak, saat waktu kuliah senggang. 

Beruntung langganan warung nasi selalu ada karena pelanggannya adalah para pekerja pabrik yang mengontrak di kampung kami. Juga para pedagang keliling yang menyewa kamar di beberapa rumah. Malahan, saya dan adik harus mengalah bila nasi hanya tersisa beberapa piring. 

"Kalian makan mie saja. Ini jatah nasi buat si Salim," itu yang seringkali diucapkan Bu Nano. 

Atau kami sering dikira makan enak karena lauknya ayam goreng krispi. Padahal, jujur saja, ayam krispi itu yang sudah ada di etalase warung dan sudah dihangatkan berkali-kali. Tepungnya saja berubah dari krispi menjadi seperti batu. 

Namun, sejak saya dan adik saya bekerja, lambat-laun warung Bu Nano bertransformasi menjadi warung yang tak banyak kegiatan. Uang dari warung hanya untuk membiayai makan Pak Nano, Bu Nano, dan adik bungsu saya. Sehingga, tidak ada lagi warung nasi. Mungkin juga karena banyak saingan. 

Bahkan saat ini, setelah Pak Nano tidak ada, saya dan adik sudah berkeluarga dan tinggal terpisah, Bu Nano tidak lagi perlu bersusah payah memenuhi warung dengan segala isinya. Adik bungsu pun telah berkeluarga dan tinggal bersama Bu Nano, serta sering membantu belanja kebutuhan warung, mengelola warung seakan menjadi pengisi waktu luang bagi Bu Nano. 

Bahkan Bu Nano tidak lagi merasa cemas untuk menutup warung ketika ada jadwal pengajian atau piknik bersama teman-temannya. Karena hidupnya tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Jasa warung telah selesai. Kini Bu Nano tidak perlu lagi menaruh warung di daftar tertinggi. Karena tugas terberat warungnya sudah selesai.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun