Mohon tunggu...
Dewi SekarAyu
Dewi SekarAyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang hobi menulis, saat ini saya sedang menjalani menjadi mahasiswa ilmu hukum fakultas hukum di Universitas pamulang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengurai Polemik Permen LH No. 7 Tahun 2014: Antara Kepentingan Lingkungan, Keadilan, dan Potensi Malpraktik

16 Desember 2024   04:09 Diperbarui: 16 Desember 2024   04:09 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Regulasi mengenai tata cara penghitungan kerugian lingkungan hidup telah menjadi isu krusial dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu regulasi yang menuai banyak kritik adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No. 7 Tahun 2014. Aturan ini, yang semula dirancang untuk mengukur kerugian negara akibat kerusakan lingkungan, kini dianggap bermasalah baik secara konseptual maupun dalam implementasinya. Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk guru besar, praktisi hukum, hingga aktivis lingkungan, yang menyebut aturan ini rawan malpraktik dan potensi penyalahgunaan.  

Masalah Pokok Permen LH No. 7 Tahun 2014

Permen LH No. 7 Tahun 2014 bertujuan memberikan panduan teknis untuk menghitung besarnya kerugian lingkungan yang dapat diakibatkan oleh aktivitas tertentu. Kerugian ini mencakup banyak aspek, mulai dari hilangnya sumber daya alam hingga dampak terhadap ekosistem secara keseluruhan. Namun, sejumlah pakar menilai bahwa metode penghitungan yang digunakan dalam regulasi ini tidak transparan dan kerap menghasilkan angka kerugian yang membengkak.  

Elemen "double counting" atau penghitungan ganda menjadi salah satu isu utama. Dalam banyak kasus, kerugian lingkungan dihitung lebih dari satu kali dengan menggunakan parameter yang sama. Akibatnya, nilai kerugian yang dihasilkan cenderung tidak proporsional dengan tingkat kerusakan yang sebenarnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan, terutama bagi pihak-pihak yang harus membayar denda dalam jumlah besar tanpa kejelasan bagaimana dana tersebut akan digunakan.  

Lebih jauh, kritik juga diarahkan pada implementasi aturan ini dalam konteks hukum. Permen LH No. 7 Tahun 2014 sering digunakan sebagai dasar untuk menghitung kerugian negara dalam kasus hukum yang melibatkan perusahaan atau pelaku usaha yang dianggap merusak lingkungan. Ironisnya, meskipun denda telah dibayarkan kepada negara, dana tersebut sering kali tidak dialokasikan kembali untuk pemulihan lingkungan. Sebaliknya, dana tersebut masuk ke dalam kategori Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga tujuan utama dari sanksi lingkungan---yaitu memperbaiki kerusakan yang terjadi---tidak tercapai.  

Pandangan Akademisi dan Praktisi

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudirsono Sudomo, termasuk salah satu tokoh yang lantang menyuarakan kritik terhadap aturan ini. Menurutnya, regulasi yang bermasalah ini tidak hanya menciptakan beban finansial yang tidak adil bagi pelaku usaha, tetapi juga berpotensi merugikan ekosistem lingkungan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa perhatian terhadap lingkungan harus dilakukan secara adil dan proporsional, tanpa mengorbankan kepentingan lain seperti stabilitas ekonomi.  

Dalam pandangannya, metode penghitungan kerugian lingkungan yang diterapkan saat ini sangat memberatkan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki sumber daya besar. Jika kerugian dihitung dengan cara yang tidak realistis, banyak pelaku usaha yang akhirnya akan bangkrut sebelum dapat melakukan upaya pemulihan lingkungan. Prof. Sudirsono juga mempertanyakan efektivitas pendekatan ini dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan secara menyeluruh.  

Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya disebabkan oleh pelaku usaha yang terjerat kasus hukum, tetapi juga oleh pihak-pihak yang secara legal tidak pernah menghadapi tuntutan. Banyak aktivitas manusia, termasuk yang tidak melanggar hukum, tetap memberikan kontribusi besar terhadap degradasi lingkungan. Dengan demikian, aturan yang hanya fokus pada sanksi tanpa menciptakan mekanisme pemulihan yang nyata justru akan gagal mencapai tujuan utamanya.  

Permasalahan Alokasi Denda Lingkungan

Salah satu sorotan penting dari kritik terhadap Permen LH No. 7 Tahun 2014 adalah bagaimana denda lingkungan dialokasikan. Dalam banyak kasus, denda yang diperoleh dari putusan pengadilan tidak digunakan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Sebaliknya, dana tersebut dimasukkan ke dalam kas negara sebagai PNBP, tanpa ada kejelasan bagaimana dana tersebut akan digunakan.  

Situasi ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap efektivitas regulasi ini. Banyak pihak menganggap bahwa aturan ini lebih berorientasi pada keuntungan finansial daripada memperbaiki kondisi lingkungan. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai bentuk malpraktik, di mana kepedulian terhadap lingkungan digunakan sebagai kedok untuk meningkatkan pendapatan negara.  

Desakan untuk Mencabut Permen LH No. 7 Tahun 2014

Meningkatnya kritik terhadap Permen LH No. 7 Tahun 2014 telah mendorong sejumlah akademisi dan praktisi hukum untuk mendesak pemerintah mencabut aturan tersebut. Mereka menilai bahwa regulasi ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam banyak kasus, regulasi ini digunakan sebagai alat untuk menekan pihak tertentu, alih-alih menjadi instrumen yang adil untuk melindungi lingkungan.  

Desakan ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa Permen LH No. 7 Tahun 2014 tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Regulasi lingkungan seharusnya berfungsi sebagai instrumen untuk memastikan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Namun, dalam praktiknya, regulasi ini justru memperburuk kondisi dengan menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.  

Mencari Solusi yang Lebih Adil dan Efektif

Dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi mendalam terhadap regulasi lingkungan yang ada. Pendekatan baru yang lebih transparan, berbasis data ilmiah, dan berorientasi pada pemulihan lingkungan harus segera dirancang. Penghitungan kerugian lingkungan harus dilakukan secara realistis dan proporsional, dengan melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu.  

Selain itu, mekanisme alokasi dana dari denda lingkungan harus diperbaiki. Dana tersebut harus dialokasikan secara spesifik untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi, sehingga masyarakat dapat melihat hasil nyata dari sanksi yang dijatuhkan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga memperkuat komitmen nasional terhadap keberlanjutan lingkungan.  

Pada akhirnya, polemik tentang Permen LH No. 7 Tahun 2014 menggambarkan betapa kompleksnya isu lingkungan di Indonesia. Regulasi yang tidak tepat dapat menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi, baik bagi lingkungan maupun masyarakat. Dengan mencabut dan mengganti aturan ini dengan kebijakan yang lebih holistik, Indonesia dapat menunjukkan komitmennya untuk melindungi lingkungan tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan keberlanjutan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun