Judul Buku : Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas & Nilai Moralitas Hukum
Penulis     : Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M.
Penerbit    : PRENADAMEDIA GROUP
Cetakan    : Cetakan ke 2, Mei 2019
Tebal       : 356 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-422-720-3
Buku setebal 356 halaman ini tidak cuma mengulas pengertian dasar sosiologi hukum saja. Tetapi juga memberikan pemahaman mengenai tiga pokok permasalahan penting yang dibahas dalam buku ini. Pertama, ruang lingkup sosiologi hukum melalui pendekatan instrumental, hukum alam dan paramigmatik, serta pemikiran yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi hukum. kedua pandangan ke depan tentang penegakan hukum. ketiga, realitas hukum dan  nilai moralitas disertai pemahaman terhadap fakta hukum dan fakta sosial. pada prinsipnya tulisan ini memberikan informasi penting mengenai perkembangan sosiologi hukum yang dikemas secara runtut, sehingga pembaca menjadi paham tentang kaitan sosiologi hukum dengan penegakan hukum dan moralitas yang pada gilirannya menambah wawasan pemikiran tentang sosiologi hukum bagi aparatur penegak hukum, para praktisi, akademisi, legislator, serta mahasiswa yang belajar ilmu hukum.
PEMAHAMAN DASAR TENTANG SOSIOLOGI HUKUM
Istilah sosiologi pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama August Comte dalam bukunya Positive- Philosophy. Aaugust Comte yang dikenal dengan bapak sosiologi ini, menyebut sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Kata sosiologi sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu "socius" yang berarti teman atau kawan dan "logos" yang berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi merupakan salah satu cabang pengetahuan yang memiliki objek yang spesifik (particular object). Objek studi sosiologi adalah masyarakat (society), yaitu interaksi antara individu satu dengan individu yang lain serta pola-pola relasi yang terbangun di dalamnya. Dalam hubungan manusia terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dengan sesamanya, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai anggota kelompok ataupun anggota masyarakat dalam budaya yang sama atau berbeda. Interaksi ini dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan di masyarakat. Dengan demikian, sosiologi tidak hanya menelaah antar individu, namun juga hubungan dalam skala yang lebih besar, yaitu antara satu kelompok (organisasi) maupun masyarakat dengan kelompok (organisasi) atau masyarakat lainnya.
PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA SOSIOLOGI HUKUM
A. pemikiran filsafat hukum
1. Filsafat Hukum Zaman Yunani : Pada zaman Yunani dikenal kelompok sofis yang berperan dalam pemikiran filsafat hukum. Di antara tokoh-fokoang beralah Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dalam beberapa hal, mereka terbagi pada beberapa aliran pemikiran. Misalnya, para filsuf alam yang bernama Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti ma- nusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus di sesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka tim bullah keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Adapun Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
2. Filsafat Hukum Zaman Pertengahan
Perkembangan filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan masa gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satu pun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap. Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus dan Thomas Aquino. Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia. Adapun Thomas Aquinas telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).
3. Filsafat Hukum Zaman Modern
Filsafat hukum pada zaman ini, telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada Abad Pertengahan ini, antara lain: William Occam, Rene Descartes, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume, Francis Bacon, Samuel Pufendorf, Thomasius, Wolf, Montesquieu, J.J. Rousseau, dan Immanuel Kant. Zaman modern ini juga disebut Renaissance, ditandai dengan terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut paham positivisme hukum.
TEORI - TEORI YANG BERKAITAN DENGAN SOSIOLOGI HUKUM
A. Teori Hukum Murni Hans Kelsen : Hans Kelsen merupakan seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, beliau memperkenalkan The Pure Theory of Law (Reine Rechts Lehre). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoretisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
B. Teori Utilitarianisme Bentham : Jeremy Bentham yang terkenal sebagai salah seorang tokoh Utilitarianisme hukum, dilahirkan di London pada 1748. Bentham hidup selama masa perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Revolusi industri dengan perubahan sosial dan ekonomi yang masif yang membuatnya bangkit, juga revolusi di Perancis dan Amerika semua merefleksikan pikiran Bentham. Pemikiran hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David Hume yang merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoretis dari hukum alam, di mana inti ajaran Hume bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang sudah diletakkan Hume tentang asas manfaat yang dapat mendatangkan kebahagiaan.
STRUKTUR SOSIAL DAN HUKUM
1. Pengaruh Stratifikasi Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Salah satu karakteristik dari negara berkembang adalah lemah dalam hal penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi dan golongan. Atas dasar hal tersebut di atas tidak heran jika kita sering menyaksikan dan mendengar, seseorang mendapat vonis yang jauh dari nilai keadilan yang seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan yang dilakukannya. Sebagai contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika tertangkap dan masuk penjara, maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dibanding seseorang yang mencuri uang rakyat atau korupsi. Menarik dicermati bagi kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum maka ada dua hipotesis yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai berikut:
 a. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
 b. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin banyak hukum yang mengaturnya.Â
Pengaruh stratifikasi masyarakat dalam penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat, dan tidak jelas akhirnya. Hal yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang berkategori ma syarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam penerapa nya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata pisau. Artinya pisau akan terasa tajam manakala diarahkan ke bawah, pada saat yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan ke atas.
MAKNA PERUBAHAN SOSIAL DAN KONFLIK SOSIAL
A. Makna Perubahan Sosial
Terdapat bebarapa makna yang diungkapkan oleh para ahli dalam mendefinisikan makna perubahan sosial. Selo Soemarjan menyatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan perubahan itu memengaruhi sistem sosial didalamnya. Menurut mile Durhkeim, perubahan sosial merupakan hasil faktor- faktor ekologis dan demografis yang mengubah kehidupan masyarakat yang diikat oleh solidaritas organis.
Adapun beberapa fak tor yang menyebakan terjadinya perubahan sosial, yaitu:
 1. Internal meliputi:
 a. Bertambah dan berkurangnya penduduk dalam satu daerah yang memengaruhi struktur masyarakat.
b. Adanya penemuan-penemuan baru terutama dalam bidang teknologi.
 c. Adanya konflik sosial.
 d. Terjadinya revolusi atau pemberontakan dalam suatu negara.
 2. Eksternal meliputi:
 a. Lingkungan sekitar manusia misalnya terjadi gempa bumi, banjir dan lain sebagainya yang menyebabkan masyarakat pindah ke tempat pengungsian.
 b. Terjadi konflik atau peperangan yang mengakibatkan pengungsian penduduk dari suatu negara ke negara lain.
c. Pengaruh kebudayaan.
B. Pola Penyelesaian Konflik
Pola Penyelesaian Konflik Pada prinsipnya, konflik merupakan sifat kehidupan manusia, maka konflik akan selalu ada sejalan dengan keberadaan manusia. Adanya perbedaan kepentingan yang berlawanan antarkelompok membuat kelompok-kelompok senantiasa dalam situasi konflik. Atas dasar itu, konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang senantiasa melekat dalam kehidupan masyarakat dan tidak mungkin dilenyapkan. Dalam proses pengendalian konflik yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat, haruslah diadakan usaha-usaha untuk mengendalikan konflik tersebut yaitu dengan akomodasi. Bentuk-bentuk penyelesaian asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik yang timbul akibat pertikaian di antara anggota masyarakat. Pola pengendalian dan penyelesaian konflik dapat merujuk pada bentuk-bentuk penyelesaian konflik, yaitu: a. konsiliasi, b. mediasi c. arbitrase d. kompromi e. koersi dll.
OPTIK SOSIOLOGIS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum dalam optik sosiologis pada dasarnya dapat dipahami sebagai sebuah perspektif dalam menganalisis upaya penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum merupakan upaya yang selain bertujuan untuk menegakkan aturan-aturan hukum yang ada, juga untuk mengupayakan terciptanya ketertiban, keteraturan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum sesungguhnya bukan hanya untuk menetapkan siapa yang salah dan benar, siapa yang berhak dan tidak berhak, tetapi juga mengupayakan terciptanya suatu situasi yang seimbang (homeostatis) di masyarakat. Keadilan menjadi sebuah isu sentral dalam mengkaji relasi pene gakan hukum dengan aspek sosiologis dalam masyarakat. Ekspektasi vang demikian tinggi di masyarakat akan terciptanya suatu keadilan, baik keadilan hukum maupun keadilan sosial, menuntut upaya penegakan hukum diselenggarakan secara lebih serius, penuh dedikasi dan transparan. Besarnya ekspektasi akan keadilan telah menciptakan suatu tekanan sosial yang begitu kuat, sehingga di masyarakat tercipta suatu mekanisme pengawasan sosial terhadap sekalian proses penegakan hu kum yang terjadi. Masyarakat secara intensif, baik dengan kekuatannya sendiri maupun melalui suatu kelompok perwakilan tertentu, senantiasa menyimak dan mengawasi jalannya proses penegakan hukum yang terjadi. Kritik sosial, bahkan kecaman menjadi sebuah pemandangan yang lazim ketika terjadi kesenjangan antara ekspektasi masyarakat akan keadilan dengan produk dari penegakan hukum itu sendiri.
REALITAS HUKUM DAN NILAI-NILAI MORALITAS
Penggambaran mengenai realitas hukum Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah fakta mengenai bagaimana penegakan hukum dewasa ini. Barda Nawawi Arief menggambarkan realitas penegakan hukum Indonesia yang cenderung terpuruk karena beberapa faktor. Menurutnya, penegakan hukum Indonesia saat ini cenderung terpuruk dan belum mampu menjawab visi para the founding father Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945. Lebih lanjut, Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa realitas hukum Indonesia yang terpuruk diawali gejala dekadensi moral para aparat penegak hukum. Selain itu, pola pikir aparat penegak hukum cenderung "money oriented" bukannya "service oriented without money". Atas realitas demikian, Indonesia memerlukan reformasi bidang hukum secara komprehensif, tidak hanya dalam hal pembaruan perundang-undangan atau substansi hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pemba- ruan struktur hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal science/education reform).
 Dalam tataran yang lebih ekstrem, perubahan yang sangat mendesak justru bukan pada struktur dan substansi hukumnya, melainkan pada budaya hukum (legal culture) yang dipandang sebagai kunci dari segala permasalahan keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Yadyn, Abdul Razak, dan Aswanto menyimpulkan bahwa keterpurukan hukum Indonesia disebabkan oleh rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, indikatornya meliputi integritas penegak hukum yang ku- rang baik, aturan hukum yang tidak responsif serta tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila dalam penegakan dan pembentukan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Reviewer :Dewi Wahyu Ningsih
NIM : 222111068
Kelas :5A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H