Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruang Tamu

17 April 2017   15:13 Diperbarui: 17 April 2017   15:31 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruang tamu hening. Baru saja beberapa detik lalu. Namun jam dinding masih berdetak sebagaimana biasanya. Irama vas bunga kaca baru saja bernyanyian menghantamkan dirinya kepada hamparan di mana kaki biasanya berpijak di rumah ini. Koleksi buku kesayangan ibu yang lama bertengger di rak dekat televisi, kini tak beraturan berjajar di bawah kakinya. Gambar harmonis berseragam pengantin adat jawa yang bertahun-tahun setia menghiasi ruang tamu kini terberai tak beraturan dari dinding, menghempaskan kaca-kaca pelindungnya di atas lantai bercampur sedikit dengan darah segar yang mengalir dari luka di lengan kanan ibu.

Wanita yang telah menyimpan kehidupanku di dalam rahimnya selama sembilan bulan itu kini terdiam bersimpuh bersandar pada dinding sudut ruangan. Tepat di samping pecahan kaca pelindung foto hiasan termegah rumah ini . Wajahnya basah oleh air yang keluar dari sepasang mata coklat indahnya yang cukup menggambarkan cantiknya gurat wajah campuran inggris-jawa. Seorang lelaki yang berdiri di sampingnya dengan raut sesal yang begitu dalam. Wajahnya basah oleh amarah. Matanya merah oleh kebencian. Lelaki yang selalu kupanggil hangat dengan sebutan ayah itu kini diam dalam dekapan kekecewaanya yang dibalut marah membara tak berirama.

Beberapa saat lalu, ketika matahari masih sempat mengirimkan cahayanya dari balik tirai rumah ini, dialog panjang bernada tinggi ramai mewarnai seisi ruangan. Tadi sempat semua benda yang ada pada ruangan ini bersemayam pada tempatnya masing-masing sebelum akhirnya beberapa dari mereka tercecer tanpa aturan di lantai.

Lelaki pendamping hidup ibuku, yang baru saja pulang bekerja tadi mendapati laki-laki yang lebih muda darinya di ruang tamu. Lelaki itu setiap hari datang ke rumah sejak beberapa bulan terakhir ini dan selalu membelikanku buku baru, membawakan ibu baju baru. Lelaki berwajah tampan, berperawakan tinggi besar dan selalu berpenampilan rapi itu biasa kupanggil dengan sebutan Om Rusli. Tidak jarang juga Om Rusli yang menjemputku ke sekolah bersama ibu. Aku tidak tahu siapa Om Rusli, hanya saja Ibu bilang, Om Rusli adalah sahabatnya. Yang jelas Om Rusli adalah orang yang sangat baik.

“Bu, Om Rusli itu orangnya baik ya. Kapan-kapan kita kenalkan Om Rusli sama ayah ayo, Bu. Pasti ayah senang bias kenal Om Rusli. Ya Bu? Biar nanti malam kalau ayah pulang, Sekar cerita kalau Sekar dibelikan buku cerita yang banyak sama Om Rusli, pasti ayah senang”

“Jangan… Jangan sayang”, Ibu diam waktu itu dan terlihat berfikir “Ayah sudah kenal Om Rusli kok. Iya. Sudah kenal”, Tambah Ibu buru-buru “Lagipula Ibu sudah cerita sama Ayah kok soal Om Rusli, kalau Sekar cerita lagi nanti pasti Ayah bosan. Kan kasihan kalau Ayah pulang malam-malam terus udah capek, Sekar malah cerita yang sama kaya yang pernah Ibu ceritakan ke Ayah, pasti bosan dengarnya”

“Kapan-kapan kita harus jalan-jalan bareng ya Bu! Aku, Ibu, Ayah dan Om Rusli”

“I…Iya. Nak”, Ibu terbata.

Semenjak itu dan pada bulan-bulan selanjutnya aku banyak menghabiskan waktu bersama Ibu dan Om Rusli ketimbang dengan Ayah. Ayah selalu pulang bekerja pada waktu sangat larut malam dan berangkat manakala matahari belum sempat mengintip bumi yang kupijaki. Bahkan ketika akhir pekan, Ayah bisa pulang sampai hamper tengah malam. Kalau ku tanya apakah ia lelah, Ayah tersenyum serupa rona warna baju oranyenya yang cukup mengisyaratkan padaku bahwa Ayah ingin bilang kalau dia tidak merasa lelah, karena dia bahagia.

“Ayah, bukankah ini akhir pekan? Kenapa Ayah pulang lebih larut daripada biasanya? Setahu Sekar, ayahnya Rara dan teman-teman lain justru pulang kerja lebih awal pada akhir pekan, bahkan malah ada yang libur. Dan kemudian mereka mengajak keluarganya untuk berjalan-jalan. Tapi kok ayah malah kebalikannya? Pulangnya selalu hampir tengah malam?”, Sekali waktu aku tanyakan hal tersebut kepada Ayah yang sedang duduk beristirahat setelah pulang kerja pada sabtu malam yang dibasahi hujan itu.

“Sekar sayang, begini Nak, ayah bekerja berangkat pagi, pulang malam dan hampir tidak pernah libur, itu semua demi Sekar. Supaya sekar bisa sekolah yang tinggi, supaya sekar bisa beli buku, sepatu, tas dan semuanya”

“Tapi ayahnya Rara pulang kerjanya tidak sampai malam seperti Ayah dan selalu libur setiap sabtu minggu, tapi sepatu Rara, tas Rara dan semuanya selalu jauh lebih bagus daripada punyanya Sekar kok, Yah.”

“Karena semuanya sudah diatur sama Allah, Nak. Itu bagiannya Ayahnya Rara dan Rara, dan ini bagiannya Sekar dan Ayah”

“Kok gitu, Yah? Berarti Allah nggak adil, dong”

“Allah itu adil kok, Sayang dan Allah memberi sesuatu itu bukan tanpa alasan. Apa yang sudah Allah kasih itu sudah pasti yang paling baik untuk kita. Itu pasti. Mungkin Allah pengen mendengar Ayah, Sekar, dan Ibu berdoa dan memohon yang lebih kepada  Allah lebih lagi. Allah ingin mendengar doa terindah, dari hamba-Nya sebelum Dia memberi yang dimohonkan oleh hamba-Nya”

“Oh begitu ya, Ayah”

“Iya sayang, makanya sekarang Sekar harus semakin rajin shalat dan berdoa, memohon sama Allah supaya dikasih yang paling baik yang bisa membuat kita bahagia dan diberi kemudahan menuntut ilmu supaya kalau udah besar nanti Sekar bisa jadi orang sukses dan tentunya harus rajin be-…”

“Belajar”, seruku. Lalu Ayah merengkuh tubuh kecilku dalam pelukannya dan aku selalu senang dengan bau keringat ayah setiap pulang bekerja. Aku bisa menemukan tulusnya kasih sayang ayah dalam setiap detiknya aku merasakan aroma khas itu. Aku bisa menyaksikan gambaran pengorbanan luar biasa juga pada baju oranye yang sudah semakin memudar warnanya dengan name tag ayah yang tercetak kokoh di sana, “Darmawan”.

Malam memang waktu yang paling indah, menantikan Ayah pulang kemudian merasakan hangatnya pelukan tubuh Ayah di tengah nafas letihnya. Aku selalu tak bisa terlelap dalam sebelum melihat Ayah pulang dan biasanya Ibu memang sudah terlelap sejak jam sembilan. Aku selalu menghabiskan waktuku menunggu Ayah pulang di ruang tamu, dengan membaca buku-buku yang kuperoleh dari Om Rusli, dari Ayah dan pinjaman dari Rara.

Beberapa minggu terakhir ini, aku berinisiatif menyiapkan the manis untuk menyambut Ayah pulang. Walaupun aku harus bersusah payah merengkuh toples gula pada meja yang terlalu tinggi bagiku dengan kruk kecilku, kemudian aku pasti menyisakan butir-butir gula yang berserakan yang selau coba kusembunyikan dari Ibu. Tapi semuanya terbayar lunas oleh senyuman hangat Ayah manakala menyeruput teh manis buatanku. Itulah hadiah paling manis di setiap penghujung malam yang mengantarkanku tidur di hangatnya pangkuan Ayah. Lalu paginya, ketika aku telah membuka mata, aku mendapati tubuhku tertidur di kamar dengan selimut tebal ayah dan Ayah telah berangkat bekerja lagi.

Aku tidak mengerti apa pekerjaan ayahku. Aku juga tidak mengerti apa bedanya pekerjaan Ayahku, Ayahnya Rara atau Ayah teman-teman lain. Aku hanya mengerti bahwa pekerjaan ayah adalah pekerjaan seorang ayah. Itu saja. Mereka bilang pekerjaan Ayahku adalah tukang parkir, tapi menurutku itu hanya sebutan orang saja, pekerjaan Ayahku adalah “pekerjaan ayah” sejatinya. Membuat aku dan ibu mencukupi apa yang dibutuhkan dan selalu merasa nyamana, seperti itulah pekerjaan Ayah.

Pulang lagi segala lamunku pada ruang tamu rumah sore ini. Kebetulan sekali, sabtu sore ini Ayah pulang lebih awal daripada biasanya, sebelum matahari terbenam. Lalu aku tidak mengerti apa yang terjadi, ketika aku yang sedang asyik membaca buku di lantai depan kamar, kemudian tersentak kaget ketika ayah berteriak “Kurang ajar…”, mendapati ibu sedang bersandar di bahu Om Rusli di depan televisi ruang tamu. Tangan kiri ayah langsung menarik kemeja Om Rusli dan tangan kanannya menghempaskan hantaman keras ke perut Om Rusli sampai keluar sedikit darah dari mulut Om Rusli dan kemudian Om Rusli tersungkur lemah di bawah televisi.

Mata Ayah semakin merah, menatap wajah lemah Om Rusli menahan sakit dan wajah ketakutan Ibu yang tidak mampu berkata apa-apa. Aku bingung, kenapa Ayah tiba-tiba melakukan hal itu pada Om Rusli, Bukankah Ibu bilang bahwa Ayah dan Om Rusli saling kenal baik. Kini tangan Ayah gatal melihat vas bunga kaca warna biru di meja, tangannya meraih kemudian memecah bagian bawahnya sampai menimbulkan bekas runcing. Terseok penuh emosi ayah berjalan menuju arah Om Rusli yang sudah mulai bangkit, mengambil ancang-ancang kemudian Ayah mengarahkan vas bunga itu pada jantung Om Rusli. Belum sampai pecahan vas bunga itu mendarat pada tubuh Om Rusli, Ibu berlari menghalangi Ayah tepat di depan Om Rusli hingga pecahan vas bunga itu mengenai lengan kanan ibu.

“Lari mas… lari”, teriak ibu pada Om Rusli dan Om Rusli segera berlari ketakutan menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari rumah

 “Dasar, wanita tidak tahu diri”, bentak ayah kepada Ibu sampil mengayunkan tangan kirinya pada pipi merah ibu yang tadi sore baru saja dipoles dengan kosmetik.  Kemudian Ayah semakin keras berteriak kepada Ibu. Kawanan margasatwa tak berirama keluar dari mulut Ayah. Sementara Ibu, di sela tangis ketakutannya beberapa kali juga membentak ayah dengan kawanan margasatwa yang serupa dengan ayah. Aku mendekap tembok semakin takut melihat ayah dan ibu.  Aku menangis terisak, tapi keduanya tak mempedulikanku. Aku jadi semakin takut.

Pada detik-detik berikutnya untuk kesekian kali pada sore ini, tangan ayah dan ibu tak beraturan menyebabkan ruang tamu menjadi berantakan. Keduanya sama-sama terbungkus amarah yang mendalam.

“… dasar tukang parkir miskin”, begitulah sepenggal kata terakhir yang keluar dari mulut ibu, sebelum pada akhirnya tangan kanan kekar ayah menari keras dan mendarat pada sebelah pipi ibu yang belum terkena tamparan tadi. Kali ini lebih keras, sangat keras, sampai mulut ibu berdarah dan tubuhnya tersungkur di sudut ruangan, kepalanya mengenai bingkai foto besar, foto pernikahan ibu dan ayah sampai ia jatuh dan pecah kacanya, tepat di samping ibu.

Ayah mendekat berdiri di samping ibu yang terduduk penuh air mata. Ku kira ada yang ingin dilakukan lagi oleh Ayah kepada Ibu, namun Ayah justru menghantamkan kepalanya pada dinding beberapa kali sampai berdarah. Aku semakin takut, kruk ku terjatuh kedua-duanya, aku tersungkur di dekat pintu kamar penuh dengan tangis.

Suasana hening untuk beberapa saat, tanganku kini mendapati tempat pensilku. Silet warna biru membuatku terpaku menatapnya. Silet hadiah dari Ayah, sebagai pengganti dari rautan pensil Winnie the Pooh yang kuminta pada Ayah setahun lalu. Karena Ayah belum punya cukup uang, maka aku diberi silet ini. Aku pilu menatapnya lagi, dulu ketika sore itu Ayah memberikannya kepadaku, ibu yang duduk di sampingkulah yang pertama kali mengajariku bagaimana menggunakan silet itu. Dan sore itu selalu kuingat sebagai sore terhangat bersama ayah dan ibu.

Ku dengar lagi, kini irama keras perdebatan ayah dan ibu penuh aksen margasatwa yang jauh lebih kencang. Aku memejamkan mataku, merasakan dinginnya air mata yang membuat wajahku basah sejadi-jadinya. Aku membiarkan dia terus mengalir sambil menikmati sesak suara dari ruang tamu. Pelan, kemudian aku merasakan dengan jelas, silet biruku di tangan kanan, meraut nadi tangan kiriku dengan hening berpadu dengan irama keras tak beraturan dari ruang tamu. Dan kemudian gelap, aku tak lagi mendengar suara ibu dan ayah. Sama sekali.

Solo,  Mei 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun