Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeri Selembar Ijazah

22 Juni 2011   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:17 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kebosanan menunggu membuat saya tiba-tiba berpikir bahwa di antara deretan pembawa map dihadapan saya, orang-orang yang senasib dengan saya yang saya yakini sebagian dari mereka ada yang pagi tadi tidak sempat mandi, pun begitu diri saya sendiri. Kemudian siang ini udara hasil pemanasan matahari akan menjadi stimulant hebat bagi eksekresi pribadi dari masing-masing badan manusia-manusia itu. Dapat dibayangkan, bagaimana hasil ekskresi golongan orang yang tidak mandi pagi tadi, seperti saya.

Beberapa detik kemudian saya baru saja menyadari ternyata keringat-keringat hasil eksekresi manusia kota ini apabila dicampur menjadi satu, maka keringat-keringat itu akan menjadi materi yang sangat menjijikan, belum lagi dengan tambahan aroma minyak wangi warungan maka saya menyimpulkan itulah aroma paling tidak enak untuk dihirup dalam keadaan apapun. Menjadi sangat geli ketika saya harus merasakan aroma menusuk dari percampuran materi yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya ini.

“Melamun nak?”, tiba-tiba pikiran saya buyar manakala seseorang menepuk bahu saya. Ketika saya toleh dan saya susul dengan anggukan kepala, saya menemukan sosok bapak mungkin usianya dua kali lipat dari usia saya.

“Duduk pak!”, saya menawarkan tempat duduk disamping saya, di bawah pohon yang tidak begitu rindang, tapi mungkin lebih enak untuk menunggu daripada harus berdiri.

“Terimakasih nak.”, dengan wajah letihnya bapak itu langsung duduk seraya mengeluarkan sepotong sapu tangan dari dalam saku celananya. “Cari kerja juga nak?”, aneh kemudian ketika saya mendengar basa-basi dari bapak yang satu ini, untuk apa saya berada di bursa kerja kalau bukan untuk mencari kerja. Saya jawab dengan anggukan.

Beberapa saat kemudian kami terbungkam dalam kebisuan masing-masing. Saya sendiri sedang mengembarakan pikiran saya di sela-sela kebisingan suasana manusia pencari kerja yang berhamburan di hadapan saya.

“Sudah berapa Kau mengganggur, Nak?”, Pecahlah kemudian kebisuan yang kami jaga sejak tadi.

“Ah, saya baru lulus kuliah 5 bulan yang lalu pak. Bapak sendiri?”

“Baru 2 hari ini.”

“2 hari Pak? Bagaimana Bapak bisa kehilangan pekerjaansebelumnya?”

“Iya benar 2 hari. Sebelumnya saya bekerja untuk bapak walikota nak, jadi tukang kebun di rumah dinasnya.”

“Lantas? Bapak dipecat?”, Saya mulai berfikir bahwa mungkin saja bapak ini mencuri di rumah dinas, lantas ia dipecat dan terdamparlah ia kini bersama saya dan ribuan pengadu nasib lainnya.

“Tidak. Bapak berhenti atas kemauan sendiri.”

“Mengapa demikian, Pak? Padahal bukankah gaji bekerja di rumah dinas itu cukup besarPak?”

“Saya tidak suka dengan pekerjaan itu. Saya harus menjadi pembohong ketika saya berkerja di sana”

“Bagaimana bisa, Pak?”, Sayamulai terpancing dengan obrolan menarik bersama bapak tua di hadapan saya ketika tiba-tiba saya merasakan kata demi kata yang ia ucapkan seolah-olah memiliki deraian cerita tersendiri.

“Bisa saja, kenapa tidak. Itu jawaban yang sangat mudah jika kamu mengerti bagaimana kehidupan para pejabat itu.”Ia hanya tersenyum menjawab pertanyaanku dengan begitu ringannya.”Pernahkah kamu berfikir Nak, bagaimana keluarga para pejabat itu turun temurun akan selalu jadi pejabat? Lalu apa bedanya mereka yang selalu menjadi pejabat itu denga kita yang berdesak-desakan di sini?”, Lanjutnya kini ia memperbaiki posisi duduknya sampil merapikan map di tangannya yang tidak sengaja diserempet seorang wanita yang baru saja melintas di hadapan kami.

“Ya memang saya pikir orientasi kehidupan mereka adalah jadi pejabat. Sangat berbeda mungkin orientasinya dengan saya ataupun sebagian orang-orang yang ada di sini Pak!”

“Itu hanya masalah keadaan saja nak, mereka ada kesempatan untuk menjadi pejabat lewat moyang mereka, coba kamu atau orang-orang yang di hadapanmu ini punya kesempatan atau keadaan yang sama dengan mereka, saya yakin pasti kamu akan memanfaatkan kesempatan tersebut, lalu serta merta kamu akan berebut posisi paling tinggi dalam tampuk jabatan itu!”

“Bagaimana bisa bapak ini memiliki pendapat semacam itu?”, Pikirku masih terus memandangi orang tua yang jika saya perhatikan gaya bicaranya ini mirip dengan almarhum ayah saya.

Ijazah!”, Ia menunjukan isi mapnya dan menunjukan ijazahnya.

“Maksud bapak?”, saya hanya garuk-garuk kepala dan merasa sangat bodoh mendengar setiap kata singkat dari mulutnya yang abstrak merasuki pikiran saya.

“Mereka punya ijazah yang memperkuat title mereka untuk menunjukan bahwa mereka adalah orang cerdas yang pantas menjadi pejabat, dengan langkah itulah mereka memperkuat public untuk memilih mereka sebagai pejabat pemimpinnya ditambah lagi mereka punya kesempatan jauh lebih besar karena mendapat pelajaran dari moyangnya yang memang turun temurun adalah pejabat. Sama juga hal nya para pencari kerja di sini, saya, kamu dan semuanya, bermodalkan ijazah untuk menunjukan bahwa kita sudah mengenyam bangku sekolah, menunjukan kalau kita cerdas. Begitu saja, mudah bukan?”

Sayamasih tersenyum kecut antara setuju dan tidak setuju, mengerti dan tidak mengerti dari ucapan bapak ini.

“Kau mau makan bakso?”, Sambil mengipasi dirinya dengan map di tangannya ia memperhatikan tukang bakso yang baru saja melintas di hadapan kami kemudian berhenti tepat di samping tempat kami mengobrol.. Aku mengangguk mengiyakan tawarannya manakala ku hirup aroma kuah bakso yang menggoda kerongkonganku.

“Bang, baksonya dua!”, Ia menepuk pundak abang bakso yang dudukdisampingnya yang kemudian disambut senyum dan anggukan abang bakso yang sesegera mungkin menyongsong gerobak baksonya. “Kamu suka ikut demo waktu kuliah Nak?”, Ia melanjutkan obrolannya denganku

“Beberapa kali pak.”, Saya menjawab tersipu malu. Tiba-tiba sebuah memorial masa-masa kuliah saya terbayang. Bagaimana mungkin mahasiswa macam saya ini yang belum mampu memberikan apa-apa untuk negeri justru menuntut terus-menerus untuk hal yang saya akui terkadang saya hanya terbawa arus teman-teman saya.

“Fuiihh…”,Kemudian ia mengambil nafas dan tersenyum hambar kepadaku. “Kadang saya berfikir, kehidupan negeri kecil ini begitu kompleks, mulai dari pejabat para pemegang ijazah pengukuhan keintelektualan malah berebut pangkat, Mahasiswa calon pemegang ijazah tertinggi gembar-gembor memanaskan suasana, orang berpendidikan penentu ijazah sibuk osak-asik system pendidikan. Kenapa mesti seribut itu, lihatlah abang bakso itu, Nak. Apa pernah kamu berfikir, bahwa menjadi tukang bakso itu sama sekali tidak memerlukan ijazah. Toh dengan ijazah S3 Institut Tukang Bakso pun, kalau abang bakso itu tidak pandai membuat bakso dengan cita rasa yang pas, maka ia akan terdepak dengan sendirinya.”, Ia berhenti sejenak seraya menarik nafas dalam setelah berceramah padaku bak seorang guru besar dan aku hanya terbengong merasakan alur demi alur kalimatnya.

“Coba…”

“Baksonya pak!” , Belum selesai menyelesaikan kalimatnya, abang bakso menyodorkan dua mangkok bakso panas yang siap disantap.

“O ya terimakasih bang!”,Setelah dua mangkok bakso tadi berpindah ke tangan kami, ia melanjutkan kalimatnya “Coba kamu bayangkan Nak, jika saja apa-apa di negeri ini adalah layaknya persaingan tukang bakso yang tanpa persaingan ijazah, saya fikir tidak akan ada kemunafikan membangun tata kehidupan kita.”

“Mustahillah pak saya pikir!”, ganti aku tersenyum kecut menanggapi pernyataannya. “Mana bisa menentukan kualitas pemimpin tanpa ijazah yang dia punya. Apa mau kita punya pemimpin lulusan SD saja. Pak Walikota saja adalah S3, yang punya lebih dari 5 gelar, saya pikir Bapak juga lebih kenal pak Walikota, bukan? Begitupula kalau kita, para pencari kerja ini tidak punya ijazah,kita tidak akan punya tolok ukur awal kompetensi kita”

“Kamu yakin dengan ucapanmu?”

“Oh tentu Pak, ini logis Pak!”

“Jadi menurutmu Ijazah itu tolok ukur pasti?”

“Jelas Pak, bagaimana kita akan membangun kota ini, membangun negeri ini kalau tanpa orang-orang cerdas. Nah dari ijazah itulah pak kita tahu!”

“Nah di sini, di hadapan kita ini, sangat banyak orang memegang ijazah S1 atau bahkan S2 atau malah S3, kapan mereka mau membangun, kalau sampai sekarang ini saja mereka masih sibuk dengan berebut pekerjaan?”

“Itu hanya masalah waktu pak, waktu yang akan menunjukan pak”

“Begitu?”

“Baik pak, saya akan mengejar waktu untuk yang namanya membangun itu, saya harus segera terjun ke dalam medan perebutan di hadapan saya. Biar saya saja yang bayar Pak untuk makan siang ini!”, Aku mulai beranjak dan mengeluarkan selembar uang limapuluh ribuan.

“Jangan kau bayar Nak, biar bapak saja, cepatlah coba saya ingin lihat kau pergi untuk membangun seperti katamu! Bergegaslah!”

“Tapi Pak…”

“Masukkan saja uang dari kedua orang tuamu itu kembali ke sakumu! Sudah sana!”

“Baiklah, terimakasih Pak!”

Kini saya kembali bergelut merasakan campuran materi-materi keringat lagi. Sekeliling saya, satu demi satu dan seterusnya, ternyata hari ini hampa bagi saya. Sudah hampir malam pula ini, mungkin saya putuskan untuk kembali esok hari dan satu hal yang harus saya ingat bahwa besok saya harus mansi sebelum berangkat ke sini, paling tidak, saya akan mengurangi sedikit bau pekat dari bau menjijikan materi-materi keringat di sini.

Sehari, dua hari, tiga hari sampai seminggu, saya belum berubah status. Saya masih setia dengan identitas penggangguran. Map tempat menyimpan berkas saya, makin lama makin kusut hingga pagi ini saya putuskan untuk membeli map baru agar berkas lamaran saya lebih enak dipandang.

“Mas beli Koran! Ada berita hangat soal pak walikota Mas!”, Belum sampai masuk ke toko seorang bapak tua penjaja Koran mencegat saya.

“Pak walikota?”, tiba-tiba saya teringat kepada bapak tua yang saya temui di bursa kerja minggu lalu. Hah. Saya juga baru ingat, kalau minggu lalu saya belum sempat berkenalan dengannya. ‘Pak walikota’ langsung saya terperangah, ada apa dengan mantan majikan bapak tua itu.

“Iya Mas, Cuma 2500 kok Mas korannya!”, Sesegera mungkin saya mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari saku saya.

“Kembaliannya buat Bapak saja!”

“Terimakasih Mas!”

Sesaat mata saya menatap headline panas yang menghiasi halaman pertama koran di tangan saya “Naik Kursi Gara-Gara Ijazah Palsu”. Jelas kemudian kalimat demi kalimat saya resapi hingga mampu mengembalikan saya pada kejadian minggu lalu manakala bapak tua yang belum saya ketahui namanya hingga detik ini, memberi saya kuliah di sela pengapnya aroma material keringat di bursa kerja. Kejadian ini cukup memukul diri saya. Kota ini tak lebih hanyalah korban nyata dari benda yang bernama ijazah maka lepas dari itu jelas kenyataannya bahwa ini hanyalah negeri selembar ijazah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun