Aku sedang asyik menyeruput cappuccino panas di kampus pagi ini saat Dalimin datang menghampiriku.
"Dua hari lalu saya habis ditilang, Mas," kata Dalimin.
Aku yang sudah mulai mengenal kebiasaan Dalimin pun meletakan gelas kopiku. Ada suatu hal penting yang tampaknya ingin Dalimin katakan kepadaku.
"Kenapa bisa ditilang, Mas?" tanyaku.
"Kena ganjil genap, Mas. Mobil saya nomor polisinya genap. Kemarin pas tanggal ganjil, saya lupa lewat Sudirman," katanya.
"Kok bisa lupa? Kan penerapan ganjil genap sudah lama?" tanyaku lagi.
"Kan selama ini saya jarang bawa mobil, Mas. Apalagi selama pandemi kemarin jarang sekali sampai ke tengah kota Jakarta. Sampeyan bisa bantu saya ambil SIM yang ditahan tidak, Mas? Kan sampeyan mantan wartawan," tanyanya.
Mendengar permintaan Dalimin, aku kalem saja. Aku sudah menduga Dalimin akan minta tolong seperti itu.
"Waduh, Mas. Saya saja pernah ditilang dan ikut sidang kok. Lebih baik ikut sidang saja. Dendanya tidak banyak kok. Saya pernah ditilang karena SIM mati, cuma bayar denda Rp30 ribu. Sampeyan tinggal datang ke kejaksaan saja, bayar denda, lalu ambil lagi SIM sampeyan," kataku.
Dalimin terdiam. Saya yakin, dia pasti sudah mengira saya akan menolak permintaannya karena dia tahu kalau saya pernah datang sendiri sidang tilang.
"Sebenarnya pembatasan ganjil genap itu tidak adil, Mas. Apalagi untuk mobil dengan nomor genap seperti punya saya," katanya.
"Tidak adil gimana, Mas?" tanyaku.
"Kan lebih banyak tanggal ganjil. Setelah tanggal 31, besoknya tanggal 1. Ganjil lagi," katanya.
"Besok lagi kalau lewat Sudirman, plat nomor mobil saya dicopot saja lah," katanya sambil nyengir.
#CeritaDalimin #Cerita #Dalimin #Ganjil #Genap #GanjilGenap #Tilang #Denda #Sidang #Pengadilan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H