Mohon tunggu...
Dewanto Samodro
Dewanto Samodro Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar yang mengabdikan diri menjadi pengajar

Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Antara Angkringan, Hik, dan Kucingan

13 Juni 2022   16:26 Diperbarui: 13 Juni 2022   16:34 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat di wilayah Jogja, Solo, dan Semarang (Joglosemar) mengenal makanan murah meriah nan merakyat yang dijual menggunakan gerobak dan tenda sederhana. Meskipun berbeda penyebutan, menu yang ditawarkan serupa, yaitu sekepal nasi yang dibungkus, aneka gorengan, aneka sate, dan aneka minuman.

Di Jogja dan sekitarnya, warung yang menjual menu seperti itu disebut dengan angkringan. Sementara di kawasan Solo lebih akrab dengan sebutan warung hik dan di Semarang disebut dengan kucingan. Serupa, tapi bila diperhatikan ada perbedaannya.

Angkringan jogja, biasanya hanya menyediakan nasi dengan teri atau oseng tempe (di Jakarta biasanya disebut orek tempe) dengan sambal kering. Ukurannya cukup mini, sehingga konsumen biasanya tak cukup kenyang hanya makan sebungkus.

Beberapa bungkus nasi biasanya dimakan bersama sambal yang disediakan terpisah dengan lauk gorengan, biasanya tempe goreng tepung dan bakwan (bukan bakwan ala Surabaya dan Malang yang wujudnya bakso kuah ya); baceman tempe dan tahu; serta berbagai macam sate jerohan ayam yang dimasak dengan bumbu bacem seperti hati, ampela, jantung, usus, dan kulit atau telur puyuh.

Warung angkringan Jogja biasanya menggunakan tungku arang untuk menjaga teh dan wedang jahe tetap panas, dengan teko yang bentuknya cukup khas. Selain untuk menjaga minuman tetap panas, tungku arang biasanya juga digunakan untuk membakar aneka sate dan gorengan.

Kekhasan lain adalah penerangan warung yang biasanya hanya menggunakan lampu tempel (orang Jawa biasanya menyebutnya teplok) sehingga pencahayaan di dalam warung cukup remang-remang.

Warung hik dari Solo hampir serupa dengan warung angkringan Jogja. Varian nasi bungkusnya hampir sama, hanya ada dua macam dengan teri dan oseng tempe. Namun, varian satenya lebih banyak. Selain sate dari jerohan ayam dan telur puyuh, di warung hik juga ada kikil, otak-otak, scallop, dan lain-lain.

Tungku arang dengan teko khas untuk teh dan wedang jahe juga serupa. Bara dari tungku arang juga sama digunakan untuk membakar sate dan aneka lauk yang disediakan.

Konon, kata "hik" pada warung hik Solo berasal dari singkatan "Hidangan Istimewa Kampung", tetapi ada juga yang mengaitkan dengan suara cegukan karena makan makanan kering tidak berkuah.

Yang betul-betul berbeda barangkali adalah warung kucingan di Semarang. Sama-sama menggunakan gerobak dan tenda sederhana, tetapi menu yang ditawarkan kucingan berbeda dengan angkringan dan hik.

Nasi bungkus yang disediakan lebih bervariasi. Nasi teri sambal dan nasi oseng tempe tetap ada, tetapi ada juga nasi goreng, nasi ayam, nasi cumi, nasi sarden, dan lain-lain. Lauk yang disediakan juga lebih bervariasi, tidak hanya sate-satean dan gorengan yang ada di angkringan dan hik, misalnya pangsit goreng dan aneka krupuk.

Bila angkringan dan hik menggunakan tungku arang, kucingan sudah menggunakan kompor. Karena selain menyediakan nasi bungkus dan aneka lauk, kucingan juga menyediakan menu mie rebus dan mie goreng instan. Minumannya pun lebih bervariasi, tidak terbatas teh dan wedang jahe, tetapi juga aneka minuman serbuk yang diseduh.

Pencahayaan di kucingan juga lebih "modern" karena sudah menggunakan listrik. Yang digunakan biasanya lampu neon sehingga pencahayaannya cukup terang, bahkan sangat terang.

Bila pedagang angkringan dan hik biasanya memasak dan menyiapkan sendiri makanan dagangannya sendiri, pedagang kucingan di Semarang biasanya memiliki supplier yang memasok nasi bungkus, sate-satean, dan aneka lauk lainnya. Biasanya mereka hanya "tinggal modal" mie instan dan sawi serta minumannya.

Karena dipasok oleh supplier, maka antara kucingan satu dengan yang lain biasanya menyediakan makanan yang relatif sama dengan cita rasa yang juga relatif sama.

Pedagang kucingan pun relatif tidak akan terlalu rugi bila dagangannya tidak laku, misalnya karena semalaman hujan. Karena makanan yang tidak laku biasanya diambil kembali oleh supplier. Oleh supplier, nasi yang tidak laku biasanya dikeringkan dan bisa dijual Kembali sebagai nasi aking.

Kalau Anda, lebih suka angkringan Jogja, hik Solo, atau kucingan Semarang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun