Praktik pemasaran, periklanan, dan kehumasan saat ini telah jauh berbeda dengan perkembangan media sosial. Para pemasar, pemasang iklan, dan humas mulai menggunakan media sosial untuk mempromosikan brand maupun figur, alih-alih menggunakan media konvensional.
Media baru, sebutan bagi media sosial dalam kajian media, telah menjadi salah satu saluran yang dipilih ketika menyusun strategi pemasaran, periklanan, maupun kehumasan. Media sosial memiliki eksposur yang cukup besar karena digunakan oleh banyak orang di Indonesia.
Menurut laporan DataReportal yang dikutip dari Databoks Katadata, per Januari 2022 pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta atau mencakup 73,7 persen dari populasi. Sedangkan berdasarkan laporan We Are Social yang dikutip dari Dataindonesia.id, per Januari 2022 terdapat 191 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia.
Selain eksposur yang cukup besar, media sosial juga memiliki keunggulan dalam membangun keterikatan antara publik dengan sebuah brand atau figur. Media sosial memungkinkan interaktivitas, yaitu interaksi antara pengguna dengan pembuat konten. Penggunaan media sosial untuk pemasaran, periklanan, dan kehumasan memungkinkan sebuah brand atau figur berinteraksi dengan warganet yang pada akhirnya menciptakan keterikatan di antara mereka.
Karakter unik lainnya dari media sosial adalah penyebarluasan. Konten media sosial dapat dengan mudah disebarluaskan oleh pengguna, tidak hanya konten buatan sendiri tetapi juga konten dari pengguna media lainnya. Bila keterikatan sudah terbangun, bukan tidak mungkin pengguna media sosial akan ikut membagikan konten promosi dari sebuah brand atau figure.
Namun, konten promosi di media sosial memiliki tantangan yang berbeda bila dibandingkan dengan iklan atau komunikasi kehumasan di media konvensional. Iklan di media konvensional biasanya mengandalkan repetisi, yaitu konten iklan yang sama disiarkan atau dimuat secara berulang-ulang. Berbeda dengan itu, konten di media sosial memerlukan kreativitas lebih. Pembuat konten dituntut untuk membuat konten-konten yang berbeda untuk diunggah dalam periode tertentu.
Salah satu bentuk konten yang bisa dipromosikan di media sosial adalah ketika sebuah brand atau figur mendapatkan kesempatan tampil di luar negeri atau mengikuti sebuah ajang internasional. Karena itu, brand atau figur berusaha mendapatkan kesempatan untuk go international, kemudian menjadikan hal itu sebagai konten di media sosial. Tujuannya, untuk mendapat "pengakuan" dari warganet atau sekadar mempromosikan diri.
Hal itu terjadi beberapa waktu lalu, saat sejumlah pesohor Indonesia seolah-olah berlomba untuk tampil di Times Square Garden, New York dengan memasang iklan di salah satu pusat keramaian tingkat dunia itu. Iklan yang terpampang di Time Square Garden kemudian diamplifikasi melalui media sosial, terutama Instagram.
Instagram dipilih karena menjadi media sosial yang paling potensial untuk mempromosikan sebuah brand atau figur. Instagram merupakan media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia setelah perpesanan instan WhatsApp. Menurut We Are Social, persentase penggunaan Instagram di Indonesia mencapai 84,8 persen.
Selain itu, Instagram juga memiliki platform utama berupa visual, yaitu foto atau video pendek. Platform yang mengandalkan visual tentu sangat atraktif untuk menarik perhatian warganet.
Go international yang diamplifikasi di media sosial serupa iklan di Times Square Garden itu tampaknya juga berlaku terhadap klaim sejumlah brand local tentang keikutsertaan mereka dalam Paris Fashion Week, yang beberapa hari lalu sempat ramai dibicarakan di media sosial Twitter.
Meskipun bertajuk "fashion week", sejumlah brand lokal yang dikabarkan ambil bagian dalam ajang tersebut ternyata bukan hanya perusahaan di bidang busana, tetapi juga pendidikan, kecantikan, hingga kuliner. Keiikutsertaan mereka dalam ajang internasional itu diunggah dalam media sosial mereka.
Konten media sosial yang menyebut mereka berpartisipasi dalam Paris Fashion Week akhirnya mendapat sorotan dari warganet, terutama di media sosial Twitter. Bahkan, frasa Paris Fashion Week sempat menjadi trending topic karena cukup banyak yang membahas tentang hal itu.
Perbincangan kebanyakan berawal dari cuitan yang mengkritik klaim beberapa brand lokal bahwa mereka ikut serta dalam ajang Paris Fashion Week. Sebenarnya, memang ada brand asli Indonesia yang berpartisipasi dalam ajang bergengsi itu. Namun, hanya ada dua brand karena memang hanya mereka yang diundang.
Menurut warganet yang mengkritik, sejumlah brand lokal di luar dua yang diundang itu telah melakukan pembohongan karena mereka bukan ikut serta dalam acara tersebut, melainkan acara yang diadakan bersamaan dengan Paris Fashion Week, di kota yang sama.
Acara tersebut adalah Paris Fashion Show, sebuah acara yang diadakan oleh sebuah gerakan di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mempromosikan produk-produk lokal. Karena itu, para kritikus menuding brand-brand tersebut sengaja mendompleng nama Paris Fashion Week.
Di sisi lain, terdapat kubu warganet lain yang membela brand-brand lokal tersebut. Menurut kelompok ini, keikutsertaan brand lokal dalam ajang internasional seharusnya didukung dan dibanggakan.
Perdebatan di media sosial cukup menarik, apalagi kemudian perbincangan tentang hal itu juga mulai merambah ke Instagram. Setidaknya terdapat dua kubu di antara warganet, kubu yang mengkritik brand-brand lokal telah melakukan pembohongan publik dengan menyebut mereka berpartisipasi dalam ajang Paris Fashion Week dan kubu yang membela dan mendukung brand-brand lokal tersebut.
Pertentangan yang terjadi di media sosial tersebut sejalan dengan konsep public sphere atau ruang publik yang dikemukakan oleh filsuf dan sosiolog Jerman Jurgen Habermas. Menurut Habermas, ruang publik adalah ruang demokrasi atau wahana diskursus masyarakat; tempat bagi setiap orang dapat menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif.
Ruang publik memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menyampaikan gagasan, sikap, dan argumentasi mereka  secara bebas. Karena itu, ruang publik menurut Habermas bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi.
Sebagai sebuah diskursus, maka sejatinya tidak ada yang benar maupun yang salah di antara dua kubu yang bertentangan di media sosial tentang Paris Fashion Week. Keduanya bisa dianggap benar dengan argumentasi mereka masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI