Merebaknya penyakit Covid-19 telah menimbulkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah bekerja dari rumah. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka orang tua yang bekerja di rumah dapat bertemu dengan anak-anaknya yang juga harus belajar dari rumah. Â
Cerita pun mengalir seru di grup percakapan WhatsApp sebuah alumni SMA. Beberapa yang menarik, misalnya sebagai berikut:Â
"Aku punya anak 3, masih SD semua, tugas setiap hari ada. Belum nanti laporan-laporan lewat grup, terkadang ada foto dan video juga." Kata Ibu N.Â
"Anakku itu moody, membujuk untuk menulis membutuhkan perjuangan. Jadi PR 1 hari dikerjakan bertahap dari pagi sampai malam dengan drama-drama dulu. Tiga anak di rumah tentunya ada konflik teritori, konflik pangan, dan juga senggol bacok." Ibu N, masih melanjutkan ceritanya.Â
Rupanya tugas-tugas yang diberikan itu pun ada tenggat waktunya, sehingga makin menambah pusing ibu-ibu yang bekerja dari rumah tersebut. Ada pula yang anaknya masih TK, tapi tiap hari diminta bikin karya.Â
Lain lagi cerita Ibu A berikut ini, "Pas suamiku bilang di rumah sama ustadzah mamah ya? Anakku jawab, sama monster mamah?"Â
Kemudian Ibu E, tak mau kalah. Dia dapat cerita dari teman kantornya yang juga ibu-ibu bekerja di rumah. Kata ibu itu, "Kak, Ibu hari ini masih masuk, tapi mulai besok sudah kerja di rumah."Â
Kemudian anaknya pun sigap menjawab, "Alhamdulillah, Allah masih sayang sama aku.. aku masih dikasih satu hari lagi kebebasan...."
Tingkah anak-anak tentu menggemaskan, di keluarga kami pun, dua anak kembar yang sedang duduk di TK A itu memiliki banyak tugas. Namun, dalam mengerjakan tugas itu, terdapat perbedaan di antara keduanya.Â
Embun lebih tekun, dia senang dan rajin sekali mewarnai. Bening yang lebih kecil tak mau kalah, dia senang mengganggu Embun yang sedang rajin mewarnai. Pertikaian keduanya pun tak terelakkan dan seringkali membuat kami, orang tuanya kehilangan kesabaran.Â
Wartawan senior sekaligus budayawan Prie GS pun menyikapi fenomena ini dalam statusnya di Facebook. Kata Pak Prie:Â
Murid-murid yang diliburkan sebaiknya tak dibebani macam-macam pekerjaan rumah hanya sebagai kepantasan, sebagai ongkos tak enak hati. Tak setiap lima abad sekali anak-anak ini mendapat libur semacam ini. Ini pun bukan libur normal, tetapi hanya tinggal di rumah hasil ketegangan massal. Orang tua mereka juga tegang pada keadaan jangan ditambah oleh kerepotan baru mengurus PR dan malah menambah ketegangan. Apa salahnya sama sekali membebaskan anak-anak ini dari kewajiban tak wajib itu?
Membebaskan anak-anak bermain selama dua pekan tak akan membuat mereka bodoh. Membebani mereka dengan gunungan PR tak akan membuat mereka menjadi jenius dadakan. Apa salahnya anak-anak itu gembira, orang tuanya gembira agar tak menjadi tambah penat mental karena Corona. Pendidikan mestinya juga peduli pada kurikulum kegembiraan. Guru-guru sebaiknya juga dibebaskan dari beban agar mereka tak ganti membebani murid. Biarkan dua pekan ini menjadi pekan imunisasi kebatinan mereka. Pendidikan jangan kikir soal ini.
Beberapa orang tua kemudian meneruskan tulisan Pak Prie tersebut ke grup-grup sekolah anaknya. Kemudian seperti ini salah satu jawaban dari salah seorang guru di sekolah tersebut:Â
"Dalam bulan Maret target materi tema 7 harus sudah selesai, sehingga di bulan April kalau bisa kita harus sudah membahas tema 8."Â
Rupanya Bapak dan Ibu Guru di sekolah memiliki target-target yang harus diselesaikan. Nah, target tersebut dialihkan kepada orang tua yang berada di rumah.Â
Tentu situasi ini bukan hal yang mudah bagi siapa saja, baik orang tua dan guru. Situasi ini juga terjadi di negara lain, bukan hanya di Indonesia saja.
Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan di Twitter seorang Bapak di luar negeri mempertimbangkan untuk menggaji guru lebih banyak, setelah dia menemani anaknya belajar 30 menit.Â
Pengalaman bekerja dari rumah ini memang memerlukan penyesuaian, karena tidak semua orang mempunyai pengalaman dan pernah melakukannya. Namun, upaya kita bersama ini perlu untuk mencegah dan menghentikan penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Situasi ini hanya dapat kita atasi manakala seluruh elemen bersatu padu dan bekerja bersama untuk mengurangi, mencegah, dan menghentikan penyebaran virus.
Kondisi ini menjadi momentum pertemuan dan bersatunya anggota keluarga yang sebelumnya tidak setiap hari berjumpa. Kondisi ini membuat waktu kita bersama keluarga lebih banyak. Kondisi ini mengingatkan kita apa yang paling penting dalam kehidupan, yaitu keluarga.Â
Tiap-tiap keluarga perlu bekerja sama di dalam anggota keluarga untuk menahan diri mereka di rumah. Kemudian mengajak tetangga-tetangganya untuk melakukan hal yang sama.
Membatasi jarak fisik, tetapi bukan jarak sosial perlu dilakukan. Sebab, dalam masa sulit ini, kita tetap perlu membangun ikatan sosial terutama dengan anggota keluarga, tetangga, juga teman kantor. Kita bisa melewati situasi ini jika bersama.
Semoga Tuhan melindungi dan memberkati upaya kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H