Manakala hujan melanda, maka masyarakat di Jakarta sering harap-harap cemas. Sebab, hujan itu bisa menjadi banjir. Bila banjir terjadi, maka terganggulah berbagai sistem kehidupan, layanan umum, bahkan tak jarang menimbulkan korban jiwa.
Di tempat lain, banjir juga kerap menyapa. Air yang berlebih dan tak mampu ditampung oleh sungai itu sering terjadi di berbagai daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Indonesia. Daerah hulu sungai yang gundul, wilayah tengah yang penuh dengan lahan terbangun, pantai yang telah rusak, menjadi beberapa penyebab banjir.
Terkadang, air yang berlebih tidak hanya menyebabkan banjir. Lebih daripada itu, di Indonesia bencana hidrometeorologi juga terjadi dalam bentuk tanah longsor dan banjir bandang. Sementara itu, kala hujan sedikit dan musim kemarau, maka kekurangan air yang terjadi.
Bagaimana sejatinya pengelolaan bencana hidrometeorologi, dalam hal ini banjir, dan kaitannya dengan DAS harus dilakukan?
Bencana Hidrometeorologi
Berdasarkan teori SPARE (Social, Policy, Alternative, Reguler, Emergency), yaitu teori yang digunakan untuk memahami kejadian bencana secara komprehensif, maka penyebab bencana akibat hidrometeorologi sangatlah beragam (Maarif 2013). Secara umum, hal ini disebabkan karena lahan kritis seperti sungai dan drainase yang menyempit dan dangkal. Penduduk yang tinggal di perkotaan tanpa didukung oleh tata ruang yang baik, perilaku masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan terjadinya perubahan iklim.
Beberapa penyebab bencana hidrometeorologi tersebut masih ditambah dengan kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana yang masih rendah, keberpihakan kebijakan pemimpin daerah yang masih kurang terhadap upaya pengurangan risiko bencana (PRB), serta masih minimnya pengetahuan akan risiko yang dimiliki.
Bencana hidrometeorologi yg mendominasi kejadian bencana di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pengelolaan hidrologi yang berhubungan dengan DAS. Tantangan dalam mengelola daerah aliran sungai adalah adanya perbedaan antara batas-batas DAS dengan batas administrasi. Akibatnya, terjadi perbedaan pihak yang mengelola sungai dan yang mengatur wilayah.
Daerah Aliran Sungai
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for DRR) dan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh PBB pada tahun 2015 menuntut perubahan pola pikir kewilayahan menjadi berbasis daerah aliran sungai. Untuk melakukan hal ini, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian DAS sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (UU SDA) dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, yaitu:
'Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah yang terpengaruh aktivitas daratan.'