Sebagai penikmat film, sejak bertahun-tahun yang lalu jagat perfilman dunia, khususnya yang bergenre superhero, tengah terbelah menjadi dua kubu, para pecinta film keluaran Marvel atau DC Studios. Semua memiliki kelebihan dan keunikannya sendiri-sendiri.
Jika film keluaran Marvel memiliki efek CGI yang lebih memikat serta jalur cerita yang dapat memanjakan imajinasi penikmatnya, film gubahan DC Studios penuh dengan filosofi dan drama yang dapat mencampuradukkan semua aspek kehidupan.
Memilih mana yang lebih baik antara Marvel atau DC, sekali lagi, sama seperti saat kita diharuskan memilih mana yang lebih baik antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Tentunya setiap fans garis kerasnya memiliki alasan tertentu untuk dapat membuat idolanya lebih baik dari kompetitornya, baik dengan cara yang masuk akal maupun di luar nalar.
Tentunya Marvel dengan seri Avengers-nya adalah salah satu film yang dapat disebut sebagai film terbaik sepanjang masa. Terbukti dengan capaian klimaks dari film Avengers ini, Avengers: End Game, yang tercatat sebagai film yang meraup pendapatan tertinggi sepanjang sejarah dunia. Namun bagi saya, Justice League memiliki tempat tersendiri di hati saya. Meskipun konflik yang disajikan serta klimaks cerita ini dapat ditebak dengan mudah, namun ada satu sosok yang sangat menarik dari film ini, Batman.
Ya, Batman adalah sang pelopor terbentuknya aliansi superhero yang dibentuk untuk memerangi pasukan alien, yang digawangi oleh Steppenwolf, yang menyerang Bumi. Di dalam film Justice League ini Batman kerap kali menunjukkan sisi “manusia”-nya. Salah satu alasan kenapa Batman sampai repot-repot membentuk aliansi ini karena Batman merasa tidak mampu untuk menghadapi Steppenwolf dan Parademons-nya yang tengah mencari tiga Mother Box yang akan disatukan untuk menghancurkan Bumi.
Dalam salah satu adegan, para anggota Justice League terlihat frustasi karena dikalahkan oleh Steppenwolf dalam perjumpaan pertama mereka. Namun tentu yang menjadi penengah dan penemu solusi untuk langkah ke depannya tidak lain dan tidak bukan adalah Batman. Setelah Batman meminta ijin untuk pergi ke kamarnya, dia membuka kostumnya dan di sana kita dapat melihat bagian punggung dari Batman yang penuh dengan luka sehabis baku hantam dengan Steppenwolf pada scene sebelumnya. Bahkan Batman memerlukan bantuan Wonder Woman untuk membetulkan posisi lengan kirinya.
Benar, Batman bukanlah manusia yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan super. Dia jauh berbeda dengan Superman atau Wonder Woman, atau anggota lain dalam Justice League, atau bahkan superhero lain pada umumnya yang memiliki talenta yang melebihi manusia pada umumnya. Batman-pun tidak memiliki bakat alam yang dimiliki oleh hampir semua superhero, ketahanan tubuh dan kemampuan regenerasi luka. Dibandingkan dengan superhero lain yang terkesan immortal atau hampir mustahil untuk dapat terbunuh, Batman, yang hanya mengandalkan peralatan ciptaannya untuk dapat meraih gelar superhero, adalah seorang mortal.
Benar, Batman hanyalah manusia biasa di tengah para superhero. Batman hanyalah seorang mortal di tengah para immortal.
Entah mengapa begitu melihat sosok Batman pikiran saya langsung melayang pada salah satu punggawa dalam skuad AC Milan musim 2006/2007. Ada satu sosok “mortal” dalam skuad AC Milan kala itu, sosok yang dinilai oleh banyak pandit sepak bola sebagai sosok yang tidak memilki bakat atau kemampuan mumpuni untuk menjadi pesepak bola top, namun nyatanya dia dapat bersaing di tengah himpitan para “immortal” dalam sepak bola kala itu semacam Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau Ricardo Kaka. Akan saya perkenalkan nama ini, khususnya bagi Anda para penikmat sepak bola yang belum pernah melihat aksinya di lapangan. Ingatlah nama ini: Filippo Inzaghi.
Skuad AC Milan pada musim 2006/2007 adalah skuad yang mampu membalaskan dendam terhadap sang kampiun dalam laga Final Champions League bertajuk “Keajaiban Istanbul”, Liverpool, pada dua musim sebelumnya.
Nampaknya Milan belajar banyak dari kepahitan akibat dikalahkan Liverpool secara dramatis melalui adu pinalti setelah sebelumnya sempat unggul 3-0. Gelar juara ketujuh Milan ini menjadi gelar juara yang terakhir diraih Milan sampai saat ini. Gelar ini melambungkan nama Ricardo Kaka yang membantunya meraih gelar paling prestisius yang bisa didapat pemain sepak bola di dunia ini, Ballon d’Or pada tahun 2007.