“Maafkan aku!” ucapmu setelah memotong kuku di kesepuluh jariku.
“Maaf? Maaf untuk apa?” tanyaku penasaran.
Diam. Bisu.
Aku mengusap air matamu yang mendadak jatuh. Detik berikutnya aku memelukmu. Aku membelai lembut kepalamu. Selembut angin yang menyapa senja.
“Saat aku pergi nanti, ingatlah aku dalam doamu…”
Laksana sebuah busur anak panah tertancap tajam di dadaku, seperti itulah sakit yang kurasakan ketika mendengarkan ucapanmu.
Semakin erat aku memelukmu. Tak ada satu kata pun yang mampu terucap. Tak ada pertemuan yang abadi, namun perpisahan ini akan sangat menyakitkan.
#####
Tak pernah diriku bosan untuk menemanimu melihat senja di pantai. Bahkan ketika kamu tak kuat berjalan, aku tak pernah mengeluh untuk mendorong kursi rodamu. Agar kita bisa bersama menikmati indahnya ombak yang senantiasa bergemuruh. Segemuruh hati ini yang masih merindukanmu. Rindu yang tak bertepi dan tak bertapi.
Aku masih ingat saat di minggu pertama menjadi kekasihmu. Waktu itu kita masih memakai seragam abu-abu putih. “Dewa, orang-orang itu pada ngapain sih kalau pacaran?” tanyamu dengan polos dan lugu. Tampangku yang ceria berubah drastis menjadi bingung tanpa ekspresi. “Dewa, sayang! Jawab dong! Jangan bengong!” “Hah! Apa ya? Hmmm… Jalan bareng terus shoping bareng, ke Gereja bareng, dan banyak lagi. Termasuk apa yang kita lakukan saat ini, berdua-duaan juga hal yang dilakukan orang yang pacaran. Bagaimana? Sudah puas, sayang?” Kamu menatapku dengan tajam lalu berkata, “Kamu kan sudah pernah pacaran, makanya aku nanya. Dulu kenapa kamu pacaran?” “Yah karena aku suka sama tuh cewek dan kita jadian. Teman-temanku juga gitu,” jawab ku sambil memainkan jemarimu yang lembut. Kamu tertawa kecil mendengar jawabanku. “Iiih… Lucu banget deh.” “Apanya yang lucu?” “Eh, Dewa sayang! Kamu latah ya? Ikut-ikutan sama teman kamu?” “Aku ngga latah tau!” “Oke sekarang… Menurut kamu manfaat pacaran itu apa?” Aku terkesiap. Sebal, kamu waktu itu tak pernah berhenti bertanya. Kamu menunggu jawaban dariku, tapi sampai beberapa menit aku masih belum bisa menjawab. “Ayo… Katanya mau kasih tau?” “Dengar ya! Dengan pacaran nilai kita jadi lebih bagus.”“Kamu yakin nilai kamu naik terus dan makin bagus kalau pacaran?” “Ya ngga juga sih.” “Oke, terus manfaat lainnya?” “Punya teman curhat, ada yang menemani kita kemana-mana dan selalu mengingatkan kita.” “Seorang teman juga bisa melakukan hal itu.” Mulutku spontan jadi manyun. Itu hal lain yang aku suka darimu. Kamu selalu bisa melihat banyak hal dari sudut lain. Membuatku menjadi lebih dewasa dalam berpikir. Bertahun-tahun kita menjalani hubungan tersebut tak ada jenuh dan ragu sedikitpun.
#####
“Kamu layak untuk mendapatkan wanita yang lebih baik dariku…”
Aku terdiam. Aku menggengam kedua tanganmu yang dingin. Aku menatap indahnya matamu diantara sinar rembulan. “Tak ada wanita lain yang mampu mencintaiku seperti caramu. Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kamu melebihi mereka semua.” “Tapi…” “Aku akan setia hingga maut memisahkan kita. Percayalah, hatiku telah memilih dirimu.” Ucapku memotong katamu untuk meyakinkan dirimu. Kamu mencium bunga mawar yang aku berikan. Bunga kesukaanmu. “Ayo dong… Pianonya jangan dianggurin.” “Gaby, kamu mau lagu apa?” “Ombak rindu.” Aku menatapmu sejenak. Tanpa berpikir panjang, aku mulai memainkan piano yang ada didepanku. Kepalamu bersandar dibahuku. Pelan dan lembut suaramu mengikuti nada yang ada.
Tuhan tolong lembutkan hati dia Untuk terima ku seadanya Karena ku tak sanggup Karena ku tak mampu Hidup tanpa dia di sisiku
Tuhan aku tahu, banyak dosaku Hanya ingat Kamu, kala dukaku Namun hanya Kamu yang mampu membuka Pintu hatinya ‘tuk cintaku Malam kau bawalah rinduku Untuk dirinya yang jauh dariku Agar dia tidak kesepian Selalu rasa ada cinta agung