Rumi seakan ingin menegaskan, bahwa walau tujuannya benar, yaitu “a’mar ma’ruf nahyi munkar”, bila disampaikan dengan cara-cara yang tak simpatik, maka tujuan itu akan menjadi bias. Ia akan menjadi samar, tersapu oleh wajah kekerasan yang ditampilkan. Bahkan tak jarang stigma buruk bukan tertuju kepada kelompoknya saja, bahkan terhadap agamanya.
Beruntunglah kita mempunyai para Wali. Sebagai generasi awal penyebar Islam, para wali tidak menampakkan wajah Islam yang arogan. Meminjam bahasa Gusdur, “tidak mutlak-mutlakan”. Mereka senantiasa bersikap ramah. Mereka tampilkan gaya dakwah yang merakyat. Dakwah yang jauh dari unsur pemaksaan dan kekerasan. Sehingga tak ada satu pun darah yang tercecer dari penyebaran Islam para Wali di bumi khatulistiwa ini. Hasilnya?, bisa kita rasakan saat ini.
Saya pernah menulis artikel mengenai beda cara dakwah antara ustad muda dan kiai tua terhadap seorang nenek tua yang hendak berkurban sapi namun atas nama delapan orang. Ustad muda -dengan suara sumbang- langsung memvonis "sesat" terhadap sang nenek. Berbeda dengan kiai tua yang dengan arifnya menyuruh nenek untuk membeli "tangga" berupa seekor kambing.
Hasilnya-pun berbeda. Dakwah ala ustad muda justru hanya akan melahirkan resistensi, kebenciaan, menjauhkan seseorang dari nilai-nilai agama serta keimanan. Sedangkan dakwah ala kiai tua akan mendekatkan seseorang kepada keimanan.
Tujuan yang sama namun dengan cara yang berbeda tentu akan menelurkan hasil yang berbeda pula. Dakwah ala kiai tua, yang penuh arif dan bijaksana akan senantiasa langgeng dan berbekas di hati ketimbang dakwah ala ustad muda. Mengapa? Karena dakwah ala ustad muda disampaikan dengan suara yang sumbang, jauh dari nilai-nilai kearifan, penuh dengan stigma-stigma kekerasan. Sesuatu yang muncul dari kekerasan niscaya tak akan bertahan lama.
Saya tak bisa membayangkan, andaikata kelompok2 anarkis itu yang menjadi generasi awal penyebar agama Islam. Entah berapa banyak darah yang harus tumpah atas nama agama dan kebenaran. Satu yang pasti, bila mereka yang menjadi generasi awal, nikmat Islam tak akan bisa kita rasakan. Dan parodi Rumi cukup memberi pelajaran bagi kita, agar jangan sampai suara sumbang merusak keindahan nilai suatu agama.
Gitu aja koq repot!
Ditulis sebagai tanggapan atas maraknya "sweeping" di bulan Ramadhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H