Mohon tunggu...
I Dewa Ayu Puspadewi
I Dewa Ayu Puspadewi Mohon Tunggu... Lainnya - Puspadewi

Denpasar, Bali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dekadensi dan Hiperrealitas dalam Media Sosial

23 Mei 2021   13:01 Diperbarui: 24 Mei 2021   16:00 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sekarang, interaksi manusia sudah dimudahkan dengan kehadiran teknologi. Bukti kecanggihan teknologi yang dapat dilihat nyata sekarang adalah hadirnya new media. 

Seperti diketahui bahwa manusia sekarang tidak cukup mengamati sesuatu hanya dengan sekadar melihat saja, namun mengandalkan media massa untuk dapat memenuhi kebutuhan, baik untuk interaksi dan penunjang karier. 

Dalam komunikasi massa bahwa media massa yang dimaksud tidak hanya media tradisional, seperti kentongan atau orang Bali mengenal kulkul sebagai media penyampaian informasi. 

Lebih daripada itu, bahwa media massa yang dimaksud adalah yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hadirnya istilah new media ini merupakan salah satu bukti dari kecanggihan teknologi. Jenis new media yang umum digunakan ialah media sosial.

Berbagai media sosial yang umum digunakan sekarang seperti Youtube, Facebook, WhatsApp, Instagram, dan banyak lagi yang tentunya memberikan manfaat dalam kehidupan. 

Kehadiran new media menjadikan kehidupan penggunanya berada pada dua dunia. Dua dunia yang dimaksud ialah dunia nyata dan dunia maya bukan dunia gaib, ya!. 

Sering kali kita melihat orang sedang makan kemudian video call menggunakan smartphone mereka, atau seminar yang biasanya duduk ramai-ramai secara nyata, kini sering dilakukan dengan sebutan webinar. 

Orang tampak terlihat secara nyata dengan mereka didalam layaknya berada pada ruangan yang bernama ruang virtual. Kehidupan kita tampak dalam dua dimensi. Hal ini yang terkadang perlu untuk diamati mengenai interaksi manusia masa kini.

Interaksi manusia masa kini ditunjukan dengan kehadiran yang tidak hanya nyata, tetapi juga di dunia maya. Jika melihat pada dunia nyata tentunya menggunakan kacamata realitas, namun jika di dunia maya bisa saja yang tampil sebuah hiperrealitas, yakni definisi singkat adalah bersatunya realitas nyata dengan realitas semu yang terkadang sulit dibedakan. 

Sebagai contoh, mengamati dari interaksi yang menggunakan media sosial selalu menampilkan hal yang bagus-bagus saja, baik kehidupan tanpa kesengsaraan, barang-barang bagus yang mewah, hubungan dengan pasangan yang harmonis, dan lainnya penuh kebahagiaan. 

Sayangnya, dibalik yang terlihat oleh khalayak dalam media ternyata merupakan settingan, bahkan bisa saja tidak sesuai dengan realitas nyatanya.

Ketakutan yang mungkin hadir pada manusia di zaman sekarang ialah ketakuan tidak diakui dalam lingkungannya, seperti tidak dipandang kekinian atau menampilkan citra diri sesuai yang diingankan. 

Akhirnya, tidak jarang juga kita melihat teman-teman menggunakan media sosial untuk menunjang kebutuhan tersebut. Terlalu banyak kebutuhan yang tidak dapat penulis amati, sekiranya satu hal yang ingin penulis deksripsikan mengenai kebutuhan aktualisasi diri. 

Abraham Maslow seorang teoretikus menggambarkan mengenai hierarki kebutuhan manusia dengan menempatkan kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi. Sebelum tercapainya kebutuhan tertinggi, maka ada kebutuhan mendasar lain dibawahnya yang perlu dipenuhi oleh manusia meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, dan penghargaan.

Paket lengkapnya kalau melihat dalam interaksi manusia sekarang, ialah pada media sosial. Untuk dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, seseorang dapat mengemas di media sosial mereka. Jika ingin melihat, terkadang terdapat sebagian individu memperhitungkan jumlah like dan followers di media sosialnya untuk mengukur seberapa eksis dirinya. 

Kalau bahas selebgram, tentu itu adalah hal penting karena media digunakan untuk karir mereka. Tetapi jika melihat jumlah like dan followers untuk melakukan pengukuran terhadap seberapa dekat atau mengenalnya seseorang dengan orang lain, inilah interaksi masa kini yang dapat menjadikan orang terjebak dalam dunia maya berhari-hari.

Sebelum makan unggah foto, sedang galau bercerita dengan media sosial, mau memulai kegiatan buat status, sedang jalan mengunggah video bahkan setiap hitungan menit. 

Contoh tersebut merupakan candu yang dimiliki seseorang akibat sulit lepas dengan media sosialnya. Hingga segala hal yang rasanya cukup privasi sengaja disebarluaskan ke publik. 

Ada perasaan cemas ketika tidak mendapatkan komentar, tidak mengunggah sesuatu tentang diri, dan terputus koneksi dengan lingkungan sekeliling. Sangat berbeda ketika dahulu seseorang belum mengenal media sosial yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia nyata dengan duduk bersama, bercerita, dan meletakan privasi dengan orang yang tepat.

Ketika mengunggah sesuatu lalu mendapat respon sedikit berdasarkan jumlah like dan komentar akan menciptakan pandangan pribadi bahwa diri kurang dihargai, memiliki ekspektasi berlebih terhadap tidak diakuinya diri menunjukan media sosial mungkin telah berhasil mengubah perilaku dan interaksi manusia kini. 

Kalimat sesama pengguna medsos yang sering terdengar, "jangan lupa like/mention!" menunjukan pentingnya kehadiran tidak hanya nyata, tetapi juga diketahui khalayak lebih luas. 

Tidak unggah kekinian seperti tidak eksis, tidak membalas komentar dikatakan sombong, atau tidak pernah ke tempat mewah dianggap kuno inilah yang memunculkan penampilan unggahan yang ingin tidak pernah ketinggalan. Padahal mungkin saja, seseorang tidak mengunggah seratus persen dari kehidupannya di media sosial. 

Sayangnya lagi, sebagian orang menjadikan tolak ukur keberadaan nyata seseorang melalui tampilan di dunia maya. Tidak perlu membandingkan diri kalau kita paham inilah dunia nyatanya media sosial dengan setiap orang menetapkan apa yang baik dan tidak baik berdasarkan dengan yang dilihatnya pada media sosial.

Sesungguhnya sesuatu yang tampak dalam interaksi manusia kini perlu diikuti dengan kesadaran. Mengetahui tujuan dari penggunaan media sangat penting. Karena jika belum memahami dari tujuan penggunaan media, justru akan menjadikan media yang memanfaatkan kita bukan kita yang memanfaatkan media. 

Hanya karena menghilangkan rasa bosan membuat kita didalam dunia maya dan hanya kesal pada seseorang membuat individu menuliskannya dalam akun media sosialnya. 

Dahulu, orang berinteraksi dengan saling bertemu dan saling mengungkapkan masalahnya. Namun sebagian memilih melampiaskannya pada media sosial yang digunakan sekarang. Akhirnya salah tafsir, berujung semakin rumit.

Kendali atau tombol untuk mengatur dari penggunaan media sosial berada pada diri sendiri. Berdasarkan beberapa penelitian bahwa tidak jarang seseorang depresi akibat selalu melihat konten yang menampilkan kebahagiaan di media sosial, kemudian membandingkan dengan kehidupan pribadi. Menghabiskan waktu yang ternyata semua adalah semu. 

Hal ini akan lain terlihat ketika kita yang mampu memanfaatkan media sosial dengan menjadikannya sebagai media penunjang karier dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan seperti hal positif tergantung kebutuhan masing-masing. 

Ketika justru teknologi yang memanfaatkan kita, ini yang cukup menyedihkan untuk introspeksi. Karena membuat kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan hidup di dunia maya, sedangkan waktu kita perlu produktif untuk melakukan hal nyata. 

Selanjutnya, jika hal nyata tersebut dipublikasikan tentu itu akan menjadi informasi bagi setiap orang mengenai diri kita. Sehingga, penting untuk bijak menggunakan media sosial karena ruang privasi seseorang sudah menyatu dalam ruang publik yang dapat diakses siapapun, bahkan dimanipulasi. 

Sebaiknya penggunaan teknologi dengan situasi sekarang ini menjadikan kalimat "menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh" dimaknai secara positif sebagai cara untuk kita tetap terhubung dengan orang sekeliling di tengah kondisi pandemi. Tanpa justru menjadikan kita lupa dengan dunia nyata dengan hanya sibuk berselancar di dunia maya dan kemungkinan terburuk adalah kondisi hiperrealitas. 

Berada dalam kehidupan serba ramai informasi, kurangnya nalar kritis ini menjadi semakin miris. Penyebaran hoax yang meningkat dan kepercayaan individu terhadap penilaian yang tampil di dunia maya mengubah pandangan yang terjadi sebenarnya. 

Yuk, kita hadirkan sesuatu yang nyata bukan sekadar dunia fantasi semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun