[caption caption="Jam Gadang, MAskot kota Bukitinggi"][/caption]
Apa jadinya kalau orang yang ngakunya hobi jalan tapi sebetulnya sama sekali nggak tau jalan? Naahhh... hal itulah yang saya alami bersama dengan seorang rekan saya sewaktu kami nekat jalan – jalan di kota Bukittinggi bulan Mei lalu. Sampai di kota Padang sekitar jam 03.00 dinihari, kami bergegas mencari penginapan yang tak jauh dari pusat kota Padang. Setelah menelpon ke beberapa home stay, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di Wisma Bakti. Letaknya yang berada di jalan Belakang Olo 1 no. 16 memang sangat strategis, dan harga yang ditawarkan cukup bersahabat tentunya. Tak ada pilihan lain saat itu. Hanya menyisakan sebuah kamar berkapasitas dua orang dan satu kamar lagi untuk single bed.
Penjelajahan kami mulai pukul 09.00 pagi. Sebetulnya saat itu kami pergi bertiga ke Padang, setelah sebelumnya kami melakukan pendakian ke gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh di Jambi. Tapi Pak Widodo (salah seorang rekan kami yang lain) tak menyahut ketika kami ketuk pintu kamarnya dan mengajaknya pergi. Mungkin beliau lelah dan tertidur, apalagi menghadapi dua wanita yang banyak maunya macam saya dan kak Aini... heheheheheee
Perjalan kami awali dengan berjalan kaki dari Wisma Bhakti menuju tempat shelter bus trans padang berada. Jaraknya sekitar 300 meter. Itupun setelah sebelumnya bertanya kepada beberapa orang yang kami kenal dan kami tidak kenal. Tak lama kami menunggu bus di shelter bus. Kebetulan saat itu suasana bus yang kami naiki tidak terlalu ramai. Dan satu lagi, kami bertemu seorang wanita muda yang tidak hanya menunjukkan jalan menuju Bukittinggi, tapi juga membayari kami ongkos trans padang yang kami naiki menuju shelter elf jurusan Padang – Bukittinggi. Aahhh... rezeki anak sholehah yang gak tau jalan... Alhamdulillah...
Perjalanan menuju kota Bukittinggi membuat kami bersemangat. Bukan saja karena ini pertama kalinya kami mengunjungi kota tersebut, tapi lantaran pemandangan yang disuguhkan pun sangat menarik. Melewati kawasan air terjun lembah anai yang sangat cantik menjulang tinggi, jalanan khas perbukitan yang berkelok dan disisi kiri dan kanannya diapit pohon – pohon besar, kami sungguh menikmatinya. Kami pun sempat melihat beberapa ekor monyet yang bergelantungan di pohon ketika melewati kawasan air terjun Lembah Anai.
[caption caption="air terjun Lembah Anai"]
Hujan menyambut kami begitu kami sampai di Pasar Atas Bukittinggi. Hampir tiga jam waktu yang kami habiskan untuk sampai ke Bukittinggi. Setelah sejenak menepi karena hujan, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi pertama kami di Bukittinggi yaitu Jam Gadang. Belum sah ke Bukittinggi jika tidak bernarsis ria di depan maskot kota ini. Meski gerimis masih turun di Bukittinggi, hasrat berfoto kami nyatanya masih tetap tinggi. Jam Gadang sendiri selesai dibuat pada tahun 1926 sebagai hadian dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris.
Tak jauh dari Jam Gadang, masih di kompleks taman itu juga, terdapat Museum Kelahiran Bung Hatta. Tapi ketika kami hendak masuk ke dalam, ternyata museum itu sedang tutup. Mengetahui museum itu tutup, kami melenggang dengan lemas. Kami memutuskan untuk langsung menuju destinasi berikutnya yaitu Lobang Jepang. Kami bertanya ke beberapa pedagang disekitaran lokasi Jam Gadang. Mereka menyarankan kami untuk naik bendi alias dokar alias delman, katanya lokasinya tidak terlalu jauh, tapi tetep lumayan biking ngos-ngosan kalau jalan kaki. Setelah berunding sejenak, akhirnya saya dan kak Aini memutuskan untuk berjalan kaki.
Sepanjang perjalanan menuju Lobang Jepang, kami pun sempat bertanya kepada beberapa orang yang kami temui di jalan. Semakin bertanya rasanya lokasi Lobang Jepang yang kami tuju malah semakin terasa jauh.
“Tau gini kita naik bendi aja ya kak” ucap saya kepada kak Aini. Begitu mengetahui bahwa lokasi Lobang Jepang yang kami tuju nyatanya memang cukup membuat kaki kami pegal, terlebih kami baru saja turun dari Gunung Kerinci dan Danau Gunung Tujuh, pantaslah rasanya kalau penyesalan itu kami rasa.
“Itu sedikit lagi kak, di sebrang taman itu” ucap seorang adik laki – laki yang kami temui di jalan seraya memberitahu lokasi Lobang Jepang. Benar saja, tak jauh dari tempat kami bertanya, kami sampai di lokasi Lobang Jepang. Tiket masuk wisata itu sangat terjangkau, hanya 8000 rupiah saja. Kami segera masuk dan berjalan di sepanjang jalan yang disisi kanannya berjejer penjual souvenir khas Bukittinggi khususnya maupun Padang. Sebuah lembah yang indah menyambut kami, juga beberapa ekor monyet abu-abu yang bebas berkeliaran di sana.
[caption caption="Denah Lobang Jepang"]
Lobang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan. Lobang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan mencapai 1400 m dan berkelok – kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruang khusus terdapat di terowongan ini, diantaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
[caption caption="pintu masuk Lobang Jepang"]
Setelah puas berkeliling dan berfoto tentunya di Lobang Jepang, kami memutuskan untuk bergegas pulang.
“Kita gak mau ke Ngarai Sihanok nih Wa ? nanggung udah sampe sini” tanya kak Aini pada saya. Jam di pergelangan tangan kiri saya sudah menujukkan pukul setengah empat sore, estimasi waktu perjalanan yang kami butuhkan untuk sampai ke Padang sekitar 2 – 3 jam (itupun kalo gak pake macet).
“Ini kan bukan Jakarta ka, yang angkutan umum ada sampe 24 jam, kita juga gak tau kondisi disini gimana, kalau ternyata angkutan ke Padang cuma ada sampe sore ini aja gimana?” kataku mengingatkan. Kami akhirnya sepakat untuk bergegas pulang, meskipun sayang rasanya belum sempat ke Ngarai Sihanok yang terkenal itu. Kami menaiki angkutan umum menuju perempatan Jambu Air. Katanya (lagi – lagi setelah kami bertanya kepada beberapa orang yang kami temui di jalan) disana banyak travel, bus, maupun angkutan lainnya menuju Padang.
[caption caption="Tangga menuju lorong - lorong Lobang Jepang"]
Setelah menunggu cukup lama namun tak juga mendapatkan angkutan untuk kembali ke Padang, kami memberanikan diri bertanya kepada seorang perempuan yang juga tengah menunggu angkutan di perempatan Jambu Air.
“Kakak mau ke Padang juga? Dari tadi saya tunggu disini tapi belum dapet juga kak angkutan yang ke Padang”. Mendengar itu, saya langsung saling tatap dengan kak Aini.
“Kemarin kan tanggal merah kak, jadi hari ini yang pulang ke Padang banyak, dari tadi saya tunggu disini juga bisnya penuh semua kak”. Alamaakkkk... cemana hendak kami balik ke Padang kalo kaya gini. Saya langsung menghubungi Uni Pipit dan Bunda Yetty, berharap mereka bisa memberi tahu saya alternatif kendaraan untuk kembali ke Padang. Sambil menunggu balasan dari dua teman saya yang juga kompasianer asal Padang, kami menunggu di perempatan Jambu Air, dan dibantu dua orang polisi yang juga mencarikan kami angkutan. Tapi hasilnya tetap sama. Semua angkutan menujun Padang penuh. Ditengah harapan yang mulai hilang, si adik mahasiswa yang juga hendak pulang ke Padang memanggil saya dan kak Aini.
“Kak sini kak” ucapnya sambil berlari menghampiri kami.
“Kakak ini katanya mau ke Padang juga, kalo mau kita bisa ikut dia” ucapnya sambil menunjuk Avanza hitam yang sedang menepi. Kami hanya mengekor di belakang sementara adik itu bertanya kepada pemilik mobil.
“Boleh katanya kak, nanti kita bayarnya sama kaya kita naik travel aja ke Padang” jelas adik itu. Alhamdulillah... berkah bagi kami yang notabene tak tahu jalan pulang. Benar saja, suasana jalanan menuju Padang sore itu memang padat. Tidak terbayangkan apa jadinya kami bila tidak dipertemukan dengan adik perempuani itu dan kakak pengemudi avanza yang sudi kami tumpangi.
Tak perlu takut menjelajah selama kita masih memiliki keberanian untuk bertanya. Penting juga untuk mencari informasi tentang lokasi wisata yang hendak kita datangi dan alternatif kendaraan bila hendak kesana.
“Dunia ini seluas langkah kaki, jelajahi dan jangan pernah takut melangkah, hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya”... Minjem quotenya Soe Hok Gie...
***** Hasil Jeprat Jepret *****
[caption caption="cantik kan lukisannya? ^_^"]
[caption caption="galeri lukisan..."]
[caption caption="sebuah lembah..."]
[caption caption="Ruang Amunisi"]
[caption caption="sebuah lorong"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H