Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kau Pinang Aku dengan Al-Qur'an

27 Maret 2011   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dari om google

Zara terlihat sangat cantik pagi itu. Dengan gaun kebaya putihnya yang menjuntai indah, hiasan  mahkota kecil di atas kepalanya yang berkerudung membuat penampilannya semakin mempesona. Zara, gadis manis putri sulung keluarga Mulyo Utomo, pagi ini akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

“Kamu udah siap sayang?” Tanya bunda sambil duduk di samping Zara.

“Insya Allah bunda” senyum kebahagiaan sangat jelas terpancar dari raut wajah kedua wanita itu. Zara bangkit dari duduknya, diikuti bunda yang berdiri di sampingnya. Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Didepan pintu kamar Zara, sudah berdiri beberapa orang sepupu zara. Mereka memeluk zara bergantian sambil mengucapkan selamat.

“Makasih” ucap zara tulus pada mereka. Zara kembali melanjutkan lagkahnya. Di ruang keluarga lantai 1, zara menghentikan langkahnya. Disana sudah berkumpul keluarga zara yang wanita. Zara dan bunda duduk di bagian depan, yang sudah di sediakan. Sementara kaum lelaki termasuk ayah Zara, mereka berkumpul di lantai bawah bersama sang calon mempelai pria.

Bunda menggenggam tangan zara seraya memberikan ketenangan pada putri sulungnya. Air mata zara tak henti menetes pertanda kebahagiaan dan rasa syukurnya. Zara tak pernah membayangkan akan ada sejumput kebahagiaan yang menghampirirnya.

Semua berawal ketika seorang pria yang berstatus sebagai kekasihnya memusnahkan semua mimpinya.Zara yang waktu itu masih berstatus sebagai seorang mahasiswa terjebak bujuk rayu Wildan. Teman satu kampusnya yang memiliki kredibilitas baik. Wildan tak memiliki catatan buruk sama sekali dikampus, malah termasuk mahasiswa yang cukup disegani. Tapi dibalik itu semua, rupanya ia memendam hasrat pada Zara. Tibalah waktunya hari itu, hari paling kelam bagi Zara. Zara yang menemani wildan mempersiapkan sebuah acara yang akan digelar dikampusnya hingga sore hari tak memiliki firasat apapun.

Seorang teman wildan meminta zara menemui wildan di gudang belakang kampus. Suasana di kampus sore itu memang sudah sepi, tak ada mahasiswa yang tersisa sama seklai. Dan disanalah peristiwa itu terjadi. Wildan berusaha memuaskan hasratnya pada zara. Zara hanya bisa meronta sambil meminta tolong. Bahkan teman wildan yang tadi memanggil zara rupanya ikut bersekongkol. Beruntung Tuhan masih menjaganya. Pertolongan Tuhan datang melalui penjaga kampus yang sore itu masih membereskan beberapa keperluan acara yang akan diadakan kampus zara. Karena peristiwa itu, zara memutuskan untuk pindah kampus ke tempat Oma di bandung. Setelah selesai kuliah, zara kembali ke Jakarta dan memulai semua dari awal. Tak ada hati untuk lelaki. Itulah perinsipnya. Prinsip yang mungkin menurut sebagian orang sangat ekstrim.

Ditempat kerjanya zara menemukan kenyamanan dari semua partner kerjanya, terkecuali sang atasan. Dari awal interview, zara sebenarnya sudah merasa risih. Karena cara bos-nya melihat dirinya sangat tidak biasa. Entah, tapi fikiran itu ia tepis jauh – jauh. Dan petaka itu kembali datang. Saat semua rekan kerjanya telah pulang dan zara masih setia dengan setumpuk laporannya, sang atasan menghampirinya. Entah hanya kebetulan atau memang sudah direncanakan. Awalnya sang atasan hanya memegang bahunya, yang tentu saja langsung ditepis zara. Tapi kemudian semua berlanjut. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya zara dapat lepas dari genggaman sang atasan. Kembali luka masa lalunya terkoyak.

Zara, gadis itu kembali dengan luka menganga di hatinya. Luka karena pria – pria tak beradab yang hanya berniat memuaskan hasrat terpendam mereka. Zara kembali pada tekadnya semula. Tak akan ada pria dalam hidupnya. Ia terpuruk dalam keputusasaan dan kekecewaan yang sangat dalam. Dan saat itulah kemurahan Tuhan kembali ia rasa. Zara didtitipkan ke sebuah pesantren yang berfokus pada pembangunan jiwa oleh sang Ayah. Berharap putri sulungnya yang selalu ceria dapat kembali menata hidupnya. Enam bulan zara menetap disana, perubahan demi perubahan terutama hatinya ia rasakan. Dan sepulang dari sana zara sudah menjulurkan pakaiannya hingga ke mata kaki. Sebuah kain menutupi rambut hitamnya yang selalu ia biarkan tergerai indah. Tak tampak lagi gurat kesedihan dari raut wajahnya.

Zara, pesonanya kembali menyala. Semangatnya kembali berkobar. Dan tekadnya untuk tidak mengenal pria perlahan mulai terkikis.

“Siapapun yang datang dengan niat baik, insya Allah akan saya pertimbangkan ayah” ucapnya ketika berbincang dengan kedua orangtuanya. Tak perlu menunggu lama, tiga bulan kemudian Habib datang dengan niat tulus pada zara. Habib adalah tetangga neneknya, dan beberapa kali sempat bertemu zara sewaktu zara kuliah dulu. Habib memiliki sebuah tempat pengolahan susu sederhana di daerah lembang. Sederhana, ya menurut habib hanya pabrik sederhana, tapi rupanya tempat pengolahan susunya adalah yang terbesar diantara yang lain.

Zara tak langsung menjawab pinangan habib. Tentu ia melakukan serangkaian usaha untuk meminta petunjuk kepastian hati dari Sang pencipta. Butuh waktu satu bulan baginya untuk memantapkan hatinya.

“Apa mahar yang kamu minta Ra?” Tanya habib saat acara lamaran digelar.

“Aku tak minta apa – apa, cukup lantuntan surat Ar-Rahman untukku” pinta zara pada bakal calon suaminya. Tentu ucapan zara membuat semuanya terkejut. Bukan perhiasan atau uang yang diminta zara, tapi cukuplah ayat Al-Qur’an yang menjadi mahar pernikahan mereka. Dan habib segera menyanggupinya. Tak salah pilih rupanya dirinya, karena wanita seperti zara lah yang selama ini ia cari. Surah Ar-Rahman memiliki arti yang sangat mendalam bagi zara. Tentang betapa Tuhan telah memberikan semua nikmat yang seringkali dilupakan oleh umatnya. Selang dua minggu dari acara lamaran, tibalah hari ini. Hari dimana zara akan mendedikasikan hidupnya seutuhnya untuk habib.

“Saya terima nikah dan kawinnya Zara Mulyo Utomo binti Mulyo Utomo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an dibayar tunai” lantang ucap Habib tanpa terbata sama sekali. Gelombang di hati zara tak henti bergemuruh terutama saat mendengar kata – kata habib.

“Gimana saksi, Sah?” Tanya pak penghulu pada semua saksi yang hadir baik yang di lantai bawah maupun di lantai atas.

“SAH” ucap semua serentak.

“Barakallaaahhh…”. Lantunan doa – doa mengalir dari bibir semua pengunjung seirama dengan sang penghulu. Bunda mendaratkan pelukannya pada zara begitu selesai berdoa. Kata selamat dan lantunan doa tulus bunda mengalir tanpa bisa dibendung. Dan tibalah habib menunaikan kewajibannya, membacakan surah Ar-Rahman yang menjadi mahar perkawinannya. Semua yang hadir terdiam begitu habib mengucap Ta’awudz, kemudian dilanjutkan dengan basmallah.

“Arrahmaaann…. ‘Allamalqur’aannn….” Suara habib terdengar sangat merdu ketika melantunkannya. Ada getar – getar halus yang menjalar di sanubari zara. Habib hapal benar surah itu, tanpa perlu melihat Al-Qur’an, habib mampu menyelesaikan bacaannya.

Kau pinang aku dengan Al-Qur’an….

Tak ada kata Cinta dan rayu mesra…

Kau pinang aku dengan Al-Qur’an…..

Dengan lantang kau ucap janji dihadap-Nya….

Adakah kau ragu? Kuharap tidak…

Sebab janjimu telah dicatat olehNya.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun