Propaganda merupakan rangkaian pesan terstruktur yang memanipulasi pikiran (Muhajir Affandi, 2017). Dilansir dari Kompas, propaganda juga dapat diartikan sebagai informasi atau gagasan yang dipublikasikan oleh suatu golongan, organisasi, atau pemerintah dengan tujuan memengaruhi pemikiran serta tingkah laku objeknya.
Terlepas benar atau tidaknya informasi yang disampaikan, propaganda berupaya dalam menghasut opini dan reaksi emosional publik. Terkadang informasi bersifat faktual, namun seringkali direkayasa dengan berlebihan.
Dalam situasi perang, propaganda kekejaman diluncurkan untuk memupuk kebencian terhadap musuh (Warner J. Severin, 2005). Propaganda ini menggunakan suasana kepedihan perang yang melekat dengan memanfaatkan dependensi media pada sumber-sumber yang dianggap resmi dan kemampuan negara dalam menutup suara yang bertentangan.
Salah satu bentuk propaganda kekejaman, belakangan ini dilakukan oleh Israel. Pada 22 Oktober 2023, mereka mengunggah informasi tentang Hamas melalui akun resmi pemerintah Israel di Instagram.
Pada halaman kedua mereka memaparkan bahwa Hamas adalah organisasi teroris yang didirikan pada tahun 1987, bertujuan menyingkirkan Israel dari peta dan membangun negara Islam. Halaman selanjutnya, mereka menyatakan bahwa Hamas telah melenyapkan ribuan penduduk Israel dengan sadis.
Pada halaman keempat, menurutnya Hamas telah menguasai Jalur Gaza, menindas penduduk Palestina dengan menganiaya dan memberikan perlawanan terhadap minoritas, serta menggunakan sumber daya nasional maupun internasional untuk membangun infrastruktur teroris dan pabrikasi senjata.
Pada halaman kelima dan keenam, Israel menyatakan bahwa Hamas meluncurkan berbagai serangan terhadap penduduk sipil serta mendidik anak-anak untuk menjadi teroris.
Pada halaman ketujuh, mereka menampilkan video terkait Hamas yang berambisi untuk memusnahkan Israel beserta para Yahudi. Dan halaman terakhir, Israel menyatakan bahwa Hamas merupakan ancaman bagi dunia.
Pernyataan tersebut memperoleh berbagai respon dari netizen mancanegara, baik positif maupun negatif. Respon ini bergantung pada keberpihakan setiap individu. Dalam konteks respon negatif, hal ini timbul akibat realitas dengan informasi yang diunggah terdapat hal yang tidak benar.
Dikutip melalui buku Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer (2019) karya Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph.D., bahwa Hamas merupakan gerakan nasionalis-agamis yang menggabungkan delegasi damai Islam dengan strategi perjuangan bersenjata. Jika dikorelasikan dengan unggahan Israel pada halaman kedua, dapat diketahui bahwa Hamas bukan organisasi teroris, mereka berjuang dalam pendirian Negara Palestina yang merdeka.
Berbicara terkait pihak yang terdampak, sebagaimana dimuat dalam tulisan Kumparan, dinamika korban yang tewas akan terlihat jika ditinjau dalam rentang waktu tahun ke tahun. Sejak 2008 data korban pada konflik ini berhasil dihimpun oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) di wilayah Palestina.
Menurut data tersebut, korban tewas di Palestina sepanjang 2008 – 2022 mencapai 6.180 jiwa. Sedangkan, korban tewas di Israel berjumlah 260 jiwa. Data diatas belum termasuk dengan insiden 7 Oktober 2023. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs menyatakan bahwa korban Palestina pada periode 7 Oktober hingga 6 November mencapai 10 ribu jiwa. Data keseluruhan diperoleh melalui Kementrian Kesehatan Gaza dan keterangan resmi Pemerintah Israel.
Hamas kemudian tidak sekadar berjuang dengan berperang, mereka juga melakukan kerja sosial. Hal inilah yang membuat masyarakat Palestina simpati dengan mereka (Bayu Ardi Isnanto, 2023). Hamas pun beroperasi sebagai partai politik, puncak dari situasi ini terjadi pada 2006, ketika Hamas ikut serta dalam Pemilu Palestina, bersaing dengan partai lainnya yang sekuler, Al-Fatah, dan menang dengan suara mayoritas (Dian Rosalina, 2023).
Meski demikian, masyarakat internasional tidak mengakui hasil Pemilu itu dan krisis internal besar lainnya pun terjadi. Ini membuat krisis belum sepenuhnya selesai sampai sekarang dan membuat Al-Fatah berkuasa di Tepi Barat sementara Hamas secara de facto berkuasa di Gaza.
Persoalan Hamas menguasai Gaza secara de facto, merupakan argumen yang digunakan Israel untuk membenarkan kebijakan yang keras dan memasang barikade dan blokade di wilayah tersebut (Sergio GarcÃa Magariño, 2023).
Berdasarkan pernyataan Israel pada unggahan halaman keempat, Hamas tidak menindas dan menganiaya penduduk Palestina. Justru Hamas mendukung, melindungi, dan membantu mereka dengan menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, amal, pembangunan panti asuhan, pembentukan kelompok-kelompok olahraga, seni, dan budaya. Hamas juga mengembangkan berbagai bentuk perlawanan sipil, seperti demonstrasi, boikot, kerusuhan massal, dan berbagai tindakan non-kooperatif lainnya. Hamas juga berjuang melawan Israel dengan mengangkat senjata. Dalam melaksanakan kegiatan ini, Hamas bergantung pada sumbangan yang tidak terikat, baik dari lingkup internal maupun eksternal.
Terkait penyerangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023, bertujuan menggertak Israel yang telah melakukan penjajahan secara struktural dalam waktu yang berkepanjangan. Seperti dikatakan oleh juru bicara Hamas, Khaled Qadomi mengungkapkan bahwa alasan mereka menyerang merupakan bentuk respons atas kekejaman yang telah dirasakan rakyat Palestina selama beberapa tahun ke belakang. Serangan Hamas terhadap Israel merupakan Operasi Badai Al-Aqsa dan mengajak masyarakat Palestina untuk bergabung dalam perlawanan ini (Mohammad Deif, 2023). Meskipun tindakan Hamas tidak sepenuhnya benar, mereka melakukan gerakan politik agar kondisi memprihatinkan Palestina dilirik dunia dan Israel mendapatkan sanksi atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi dalam konflik ini (Dian Rosalina, 2023).
Para ulama pun berpendapat seperti Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf, dengan Menyerukan kepada sejumlah pihak dan masyarakat internasional agar melakukan langkah lebih tegas (decisive) dalam mengupayakan penyelesaian yang adil atas konflik Israel-Palestina sesuai hukum dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang ada. Muhammadiyyah Haedar Nashir juga menyebut konflik Palestina dan Israel merupakan persoalan yang terkait dengan konstitusi Republik Indonesia (Ade Oeis Hasbiyansyah, 2021).
Relevansi antara informasi yang disampaikan oleh Israel melalui unggahannya pada halaman kelima hingga ketujuh dengan fakta terkait awal mulanya konflik periode ini, dapat diketahui bahwa tujuan yang dilakukan Hamas jelas untuk memerdekakan Palestina dari belenggu Israel. Bukan semata memberikan perlawanan tanpa sebab.
Rangkaian peristiwa yang terjadi antara Palestina dengan Israel saat ini, sebagian besar masyarakat dunia beranggapan bahwa perang tersebut diakibatkan oleh Hamas yang melakukan perlawanan terlebih dahulu pada 7 Okober 2023 kepada Israel. Melupakan fakta bahwa selama lebih dari 70 tahun mereka telah menjajah Palestina.
Terkait pernyataan Israel dalam unggahannya pada halaman terakhir, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ancaman bagi dunia adalah Israel itu sendiri. Berdasarkan pemaparan fakta yang telah tersaji, Israel menggunakan pola tulisan yang hiperbola dengan memutar balikan berbagai fakta.
Pentingnya menelaah suatu peristiwa secara komprehensif disertai dengan sikap skeptis dapat membangun pertahanan diri terhadap berbagai informasi yang diperoleh. Sehingga informasi atau berita yang diserap tidak diterima secara mentah. Namun mengalami proses keterbacaan lebih mendalam melalui berbagai sumber yang dapat memperkaya pengetahuan serta kebenaran suatu informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H