TAKDIR
DN Sarjana
Semestinya tidak ada lagi yang Fitri ragukan. Sama  dengan rintik hujan sedari pagi turun membasahi bumi. Sampai malam ini pun, saat kita menyisakan silang pendapat, dia tetap setia mendampingi. Fitri  rasakan saja hempasan semilir angin, tanpa diminta mendinginkan  suasana.
Begitu Ridho mengusir kesedihan mereka berdua. Dalam hening malam, pembicaraan tentang kematian  tiada pernah terputus. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai, tentu sesuatu yang menyedihkan. Sambil merenung Ridho  minum teh jahe hangat yang dibuat oleh istrinya.
"Tapi, Pak. Mengapa Mbok harus meninggalkan   kita selamanya?"
Fitri  melontarkan kesedihannya sambil menyekat  air mata. Dalam hatinya ia tidak terima mengapa orang yang sangat dikasihi meninggalkan mereka untuk selamanya. Padahal dia sering berpesan, kalau nanti selesai bekerja diperkantoran, dia akan belajar  membuat jajanan. Selama ini Mbok  selalu sigap melayani keluarganya.
"Itulah takdir Fit. Kita tak kuasa melawannya. Termasuk siapapun".
Ridho berusaha menenangkan istrinya. Satu minggu semenjak ditinggal Mbok, dia masih tidak bisa menerima kenyataan. Memang di setiap kesempatan, pertemuan dengan Mbok pasti ada saja pembicaraan  yang  menarik. Yang lebih sering adalah bimbingan tentang hidup yang sesungguhnya. Hidup yang berbeda, kehidupan di dunia sana nanti, sering menjadi petuah  bagi kami berdua. Di saat kegundahan menyelimuti kami berdua, Mbok selalu bilang jalani saja. Cobaan bagian dari karma kita. Tidak boleh dihindari, apalagi  dialihkan kepada orang lain.
"Fitri, rumah disini, gampang-gampang susah. Mbok  minta Fitri menyadari dan jangan tidak menerima kenyataan itu". Itu pesan yang sering diucapkan.
"Maksud Mbok apa? Saya tidak paham". Suara Fitri agak tegang, sambil memegang lutut kakak iparnya. Ia sangat ingin mendapatkan jawaban yang jelas dari kata-kata yang baru saja diucapkan.
"Mbok tidak perlu menjelaskan. Pada saatnya nanti Fitri akan mengerti".
Rahasia itu, sampai saat ini masih bergelayut dipikiran  Fitri. Malam sudah menunjukan pukul 11. Rembulan mulai menampakan wajahnya, seiring hilangnya gerimis. Rasa dingin menyusup.
"Buk, sebaiknya kita tidur dulu." Ridho takut istrinya sakit. Dia tidak  biasa bekerja sampai malam begini.
"Ya Pa. Silahkan duluan. Saya merapikan baju anak-anak dulu". Entah jam berapa, dia baru bisa tidur disamping suaminya yang sudah tertidur lelap. Ia merasa bersyukur memasuki usia tua, masih didampingi suami yang penuh perhatian.
Hari-hari dilalui Fitri dengan menyisakan satu pertanyaan tentang rahasia di rumah tua. Selama dia menjadi bagian keluarga besar di situ, dia hanya  melaksanakan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan orang tua lainnya. Tidak pernah dirasakan ada hal yang aneh.
"Bapak. Saya kok tidak mengerti perkataan  Mbok sebelum meninggalkan kita selamanya." Tanya Fitri kepada suaminya.
"Aduuh...Ibu kepikiran banget ya. Itu hanya candaan dari  Mbok agar kita menjadi suami istri yang baik. kita harus lebih giat melatih diri".
"Apa hanya seperti itu. Sesederhana itu Rid?"
"Menurut Bapak ya". Jawab Ridho sambil menyelesaikan persiapan makan buka puasa. Sebenarnya Ridho  juga menyimpan rahasia ucapan Mbok.
"Benar juga kata Pa. Kita seumur ini sangat dimudahkan oleh Mbok. Tapi saya ragu ucapan Mbok tentang rumah tua kita tidak sebatas itu Ridho".
"Ya sudah. Dekati anakmu. Itu dia memanggilmu. Pasti ada yang diminta."
"Ah, Bapak memang akal, biar tidak repot". Jawab Fitri sambil bergegas mendekati anak nya.
Tidak terasa senja telah menampakkan wajah cerianya hari ini. Langit yang terang menunjukkan rona  jingga. Burung-bangau mengepakkan sayapnya ke arah timur. Mungkin yang dituju pegunungan karena disana habitat bangau sangat nyaman.
Kehidupan lain selain tentang dunia ini, ternyata banyak mengandung misteri. Kepergian Mbok secara tiba-tiba, juga menjadi misteri bagi keluarga kecilnya. Semuanya memang takdir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H