Malam terus beranjak. Hembusan angin pantai kian kencang. Dinginpun mulai menyengat. Jejeran alkohol di hadapanku sudah berubah menjadi nasi goreng ditambah telur mata sapi kesukaanku. Aku merasakan sesuatu yang lain. Seperti perempuan yang menyuapiku malam ini milikku.
"Ayuk, kau tak boleh seperti ini,"
"Siapa bilang tak boleh Bli? Aku tidak biasa membagi cinta. Bukankah Bli tahu perjalananku?"
"Ya Bli tahu. Itulah sebabnya Bli melupakanmu."
"Semudah itukah? Dalam hitungan beberapaÂ
musim bersama Bli, tak mudah bagi Ayuk melupakan
Bli. Tanpa Bli Ayuk mungkin sudah terjerumus dalam hitam kelam kehidupan. Itu yang tak bisa aku lupakan Bli."
"Itu masa lalu Ayuk. Tidak hanya dirimu yang mengalami. Kebetulan saja Bli mendapati dirimu."
"Masa lalu itu yang ingin aku nikmati malam ini. Aku serahkan semuanya pada Bli. Obati rinduku Bli."
Ayuk makin menyandarkan tubuhnya di dadaku. Aku tak kuasa menahan degup asmara. Pusaran hasrat meletup-meletup. Akankah Aku mempermainkan perempuan yang merebah di dadaku? Semudah itukah kehormatan Ayuk dan kehormatanku kan runtuh? Aku menarik nafas.
"Ayuk, aku paham maksudmu. Tapi Aku lebih paham, kau sudah milik orang lain. Itu yang harus kita jaga."
"Tidak Bli. Tidak...Malam ini apa yang Aku punya milik Bli. Aku ingin habiskan malam ini di sini. Di sini... bersama Bli. Biarkan pilihanku seperti ini."
Aku kehabisan akal membendung kerinduan Ayuk yang kian membuncah. Kecuali Aku biarkan malam yang bertaburan bintang kan menjadi saksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H