"Sepertinya aku biasa saja. Apalagi aku tak pernah mengalami."
Lama terdiam, Fitri menunjukkan pribadi yang gelisah. Beberapakali ia membolak balik hanpone di tangannya. "Ternyata pilihan Rara itu lebih bagus. Ia tetap sendiri walau usia menginjak dua puluh tahun," pikir Fitri.
"Maaf ya Rara. Aku memaksa kamu menjawab seperti pikiranku. Ternyata pilihanmu lebih baik."
Rara terdiam. Ia merasa kasihan kepada Fitri. Rara berusaha mencari jawab agar Fitri tak larut dalam kesedihan.
"Fit, aku juga minta maaf karena jawabanku tak memuaskanmu. Soal pilihan hidup, aku tahu kamu terpaksa menjalani sesuatu yang baru. Kita kan sama-sama dari sekolahan. Cuman saat ini kita beda jurusan dalam kampus yang sama."
Setelah Rara mengakhiri ucapannya, Fitri seolah mengingat kembali masa lalu.
Ketika ayahnya meninggal, Fitri satu-satunya anak yanh ditinggal, merasa sangat kehilangan. Apalagi ia sudah menginjak bangku kuliah. Begitu banyak tugas yang didapat. Belum lagi memikirkan ibu yang harus membiayai dari uang pensiun ayahnya saja.
Dalam situasi seperti itu, kehadiran seorang pria, sepertinya bisa menggantikan peran ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H