Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warisan

16 September 2023   20:57 Diperbarui: 16 September 2023   21:01 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

WARISAN
DN Sarjana

"Kak, ini penawaran termahal dari yang pernah ada. Masak Pekak tidak tergiur. Kalau ditotal delapan milyar pekak punya uang. Apa yang mau Pekak beli. Nanti kita metirta yatra ke pura-pura di Jawa." Wayan Lasia merayu Pekaknya. Ia merupakan cucu tertua dari Pekak Simbrug.

Pekak Simbrung bengong mendengar ucapan cucunya, sambil memperbaiki tempat duduk di Jineng. Ia memperhatikan cucunya. Dalam pikirannya tidak terbayangkan cucunya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Pekak Simbrung merasakan ketika ia masih kecil, seumur cucunya, tidak pernah terbayangkan apa itu menjual sawah. Hari-harinya ia sibung mengembalikan seakit sapi yang disiruh oleh orang tuanya untuk dirawat.
Setelah Pekak Simbrug mengatakan keberatan kapada anaknya, ia meninggalkan bal daja

"Wayan. Semasih ayahmu masih hidup sampai sekarang, kalau tidak salah hampir sepuluh kali, sawah yang kita punya diminta investor. Pekak yang bertahan karena Pekak tidak pernah merasa membeli. Pekak takut nanti salah." Jawab Pekak Simbrug pelan sambil memindah tembakai di mulutnya."

"Pekak, kalau begitu kan mudah menjual? Katanya pekak tidak merasa membeli."

"Wayan, menjaga titipan jauh lebih berat dari pada Pekak yang membeli. Titipan itu tidak jelas. Apa boleh dijual? Tidak pernah terucap dari Kompiang terdahulu. Makanya sampai ayahmu meninggal, dia tidak pernah berani mengucapkan mau menjual sawah kita."

Wayan Jernat memandangi Pekaknya. Ingin dia memarahi Pekaknya, tapi ia merasa takut bersalah, apalagi berurusan dengan polisi.

"Pekak, begini saja. Pekak sekarang menitipkan sama Wayan. Wayan akan menerima dan langsung minta ijin untuk dijual."

"Wayan hati-hati bicara. Pikir dulu benar atau salah. Kalau begitu mau mu, selama Pekak masih hidup, Pekak tidak menitipkan warisan ini pada siapapun."

Pekak Siimbrung langsung berdiri. Tubuhnya yang keriput dan membungkuk, menandatangan hidupnya yang berat di masa lalu. Ia menuju ke Bal Ged, tempat ia beristirahat sendirian.

Lima tahun sudah ia ditinggal istri untuk selamanya. Hanya berselang dua tahun, satu-satunya anak laki-laki Pekak Simbrug mengikuti ibunya. Pekak Simbrung betul-betul merasa kehilangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun