"Ah, Bibi suka memuji. Memang yang melukis laki-laki. Bolehlah dibilang ganteng".
"Na, kan bener Den. Orangnya ganteng. Sudah tua ya Den?
Cindy mengkerutkan alisnya. Dia tidak pas ucapan Bibinya. Kok dibilang tua.
"Tidaklah Bi. Dia masih muda".
Bibi tersenyum. Sebagai orang yang lama mengasuh Cindy, dia tahu sasmita Cindy terlihat sungguh-sungguh mau bercerita tentang pelukis wajahnya.
"Maaf Den. Den Ayu suka dia ya". Bibi Inem keceplosan memancing inangnya.
Cindy mengguncang bahu Bibi Inem. "Ah, bibi bisa aja. Dia jauh".
"Kan bisa Den. Jauh di mata, dekat di hati"
"Bibi ngelantur aja. Tapi...".Bi Inem memotong perkataan Cindy.
"Tapi, jangan bilang siapa-siapa kan maksud Den Ayu?"
Cindy tidak bisa menyembunyikan apa sesungguhnya yang terjadi.
"Benar Bibi. Jangan sampai ada yang tahu. Aku takut ada masalah nanti"
Bibi Inem, mengangguk, sambil mohon pamit. Begitulah, lukisan itu menjadi pelipur lara Cindy ketika ia membayangkan Mas Putu yang jauh di Bali. Pelukis yang eksentrik, tapi santun dan ganteng lagi. Mas Putu menjadi bagian dari cahaya hidupnya. Dapatkah aku bersanding dengannya? Sebuah tanya entah kapan terjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H