PERPISAHAN ITU HARUS TERJADI
DN Sarjana
Disela istirahat mereka menikmati suadana alam dilingkungan hotel yamg lumayan sejuk. Sambil menyuapi Dedi buah melon, Lely melanjutkan pembicaraan. "Kak Dedi, aku kan suka fashion. Aku pingin kuliah dibidang itu".
"O, bagus itu. Bidang desainner, trens. Kehidupan sekarang kan pashion itu penting untuk menambah percaya diri. Tidak hanya anak muda, tapi kalangan tua juga banyak yang menyukai", jawab Dedi sambil mengunyah buah melon.
"Di Bali ada ya Kak Dedi?"
"Apa harus di Bali. Apa karena ada aku?" Dedi menggoda.
"Kalau aku jawab ya?" Lely menjimpit tangan Dedi.
"Aduuh sakit Mam". Dedi keceplosan bilang mama.
Wajah Lely memerah. Dia kelihatan sedikit malu dipanggil mama. Tapi hatinya mekar secercah mawar. "Uh, dari kapan aku jadi mama mu Ded?. Ngaco aja".
"Dari kemarin itu. Aku kan melihatmu di kamar mandi". Lely semakin keras menjimpit tangan Dedi. Dia berdiri dan memeluk Dedi dari belakang. Dedi tak menyia-nyiakan luapan cinta kekasihnya. Seperti burung camar meliak-liuk, mengikuti irama hempasan angin dingin tuk berguling di dahan daun cemara.
Cukup waktu yang dihabiskan, Dedi  meneruskan cerita soal pilihan kuliah. "Di Jogja juga ada kok. Banyak desainer nasional tamatan Jogja. Jadinya aku tambah sering pulang ke Jogja".
"Pas, Ded. Kamu pinter. Aku akan bilang sama ibu bahwa aku kuliah di Jogja".
Waktu begitu cepat berlalu. Hidangan yang tersaji dari hotel, terkesan hambar dan tidak begitu menggoda bagi Dedi dan Lely. Ia tidak bisa membayangkan betapa perih rasa ketika sebentar lagi harus berpisah. Rajutan kasih yang tersisa, ambyar begitu saja karena perpisahan tak kuasa dibendung. Kehadiran sore nan cerah, namun awan gelap tetap saja bergelayut. Sama seperti gelap nya hati Lely, sangat berat jauh dari sisi Dedi. Dia merasa takut kehilangan. Kehadiran Dedi bagai cahaya, menerangi jalan gelap hari-hari lalu buat Lely. Tapi, tak mungkin juga Lely tetap di Bali.
Sambil memegang jemari, Dedi berucap, "Lely, aku sangat mencintaimu. Percayalah. Aku tahu naluri perempuan sangat sulit meyakini. Apalagi kita berjauhan".
Lely berusaha menahan air matanya. Ia menambah erat genggaman Dedi. "Kau segalanya bagiku. Kehadiranmu menghapus hidup terbelemggu yang aku rasakan Ded". Â Lely tidak mampu menahan air matanya. Ia berlari keruangan. Ia tumpahkan kesedihannya hingga jerit tangis memecah kesunyian.
Dedy menyusul Lely. "Sayang, hentikan tangismu". Dedi memeluk Lely. Dibelainya rambut Lely. Dengan tatapan yang tulus, Dedi meyakinkan hati Lely. Kecupan berkali-kali tertumpah di pipi dan bibir Lely. Mereka menjawab semua bayang kerinduan dan kesepian d hari-hari nanti. Sang kala tiada henti memutar waktu.
"Lely, aku pamit dulu ya. Sudah sore. Ntar ibu mu datang. Tidak baik untuk kita berdua, karena restu orang tua belum pasti untuk kita".
Lely tak terima dengan ucapan Dedi. "Ded, itu tidak boleh terjadi. Aku tidak menginginkan. Siapapun tak boleh mengahalangi kita". Lely mengguncang badan Dedi.
"Ya, aku punya harapan yang sama. Tapi kali ini kita berpisah dulu".
Lely menganggung sambil merenggangkan pelukan Dedi. "Jangan khianati cintaku Ded. Kau pertama yang mampu meruntuhkan pribadiku".
Sekali lagi Dedi mengecup bibir Lely. Walau langkah terasa berat, tapi Dedi harus menghiklaskan Lely makin jauh dari tatapannya. Namun dia masih menyisakan kenangan yang tak kan dilupakan Lely yaitu lukisan itu. Ada rahasia yang disembunyikan. Entah apa yang akan terjadi, lukisan itu akan mengisahkan nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H