Sampai disitu penjelasan dokter, air mata Meisa tidak tertahan lagi. Ia merenung, mengapa kehidupan keluarganya yang sudah susah mendapat cobaan seperti ini. Meisa lalu berusaha menjawab apa yang dikatakan tim dokter. Apakah harus operasi pak dokter? Bagimana keselamatan jiwa suamiku?" Meisa tidak bisa bicara banyak. Tangisnya makin tertahan hingga tubuhnya bergetar.
Tim dokter merasakan keperihan hati Meisa. Tapi bagaimana lagi. Keputusan cepat harus diambil.
"Ibu, pilihan ini memang berat dan beresiko. Kalau tidak diambil tindakan, kami merasa bersalah membiarkan suamimu kesakitan. Tetapi kami tim, tidak berani memberi jaminan atas keselamatan suami ibu. Tapi, kalau dibiarkan, kami juga tidak bisa memberi jaminan. Kami menunggu keputusan ibu hari ini."
Suasana begitu tegang dan mencekam. Sorot mata Meisa sangat lemah. Ia merasa hidupnya sudah selesai. "Bagimana aku memutuskan sesuatu yang terlalu berat bagi seorang perempuan sepertiku?" Pikir Meisa.
"Dok, biarkan saja suamiku tidak dioperasi. Biar aku tunggu di sini. Tapi saya mohon dokter tidak bosan merawatnya."
Tim dokter saling pandang. "Tidak masalah kalau itu pilihan ibu. Kami siap memberikan perawatan yang terbaik." Jawab tim dokter sampai kemudian.mereka membubarkan diri.
Hampir dua bulan Meisa dan adiknya merawat suaminya di rumah sakit. Anak-anak juga sudah tahu keadaan Bapaknya. Mereka semua sudah kelihatan siap menerima apapun yang akan terjadi. Hingga hari itu tiba. Suami Meisa sudah tidak bisa lagi bertahan. Kinto menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Tak ada lagi kata-kata yang bisa membayar duka mendalam pada keluarga Meisa.
Bulan Desember. Hujan yang jatuh saat itu, tak sederas air Mata Meisa membasahi bumi.
Bali, Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H