Walau hujan di bulan Desember cukup deras, tapi tak sederas air mata Meisa menangisi kepergian suaminya Kinto. Ia meratapi jasad suaminya ketika dimasukan ke liang kubur. Serpihan tanah yang ia taburkan menyertai Kinto perlahan menghilang bersama peti yang membungkusnya. Semai bunga yang ditabur tak seindah dan semerbak kasih sayang suaminya. Meisa lama tak beranjak, sampai kemudian tangis anaknya memanggil. Sampai akhirnya adik perempuan yang menemani merawat suaminya, memopoh Meisa menjauh dari liang kubur. Ia tidak menyangka kepergian Kinto begitu cepat.
Lima belas tahun membangun rumah tangga, bukanlah waktu yang pendek. Dua anak semata wayang telah dikaruniai. Tidak ada firasat apalagi pesan yang disampaikan oleh suaminya. Hanya saja semenjak anak pertamanya masuk SMA, dia sering mengeluh soal masa depan anaknya. Dengan penghasilan yang pas-pasan sebagai pekerja diperusahan swasta, membuat suaminya sering dihantui oleh pikiran dan perasaan takut diberhentikan oleh perusahan. Padahal dia sudah dipercaya sebagai staf pengawas. Saat suasana santai, Kito menyampaikan sesuatu kepada Meisa.
"Ma, aku ingin mendapat penghasilan tambahan dengan bekerja lembur. Masih tersisa waktu dari jam 5 sore sampai malam." Kinto suamiku memelas.
Sambil memegang tangan suaminya, Meisa mengingatkan.
"Pa, saya minta Bapak berpikir dengan jernih. Saya paham kecemasan bapak. Bukankah apa yang kita dapatkan saat ini sudah cukup menghidupi keluarga kita? Yang penting kita hidup sekemampuan. Aku dan anak-anak kan tidak pernah menuntut apa-apa?"
Meisa meninggalkan suaminya pergi ke dapur untuk membuat teh hangat sambil mengambil pisang goreng yang dia buat sore tadi. " Pa, minum teh nya. Ni ibu tadi bikin pisang goreng."
Kinto meminum teh hangat. Kinto menatap istrinya, lalu berucap.
"Itulah sebabnya aku mencari tambahan. Aku kasihan padamu dan anak-anak. Tidak bisa menikmati kehidupan seperti keluarga lain."
"Mas, jangan berkata seperti itu. Bukankah aku dan anak-anak tidak pernah meminta? Mereka mengerti tentang keadaan Bapaknya."
Sambil berpindah tempat duduk disamping suaminya, Meisa melanjutkan harapannya.
"Pa, dari pada Bapak yang bekerja sendirian, lebih baik aku keluar mencari kerja. Kita percayakan anak-anak mengurus dirinya. Toh mereka sudah besar. Aku kasihan sama Bapak. Pengalamanku sebagai pelayan restauran cukup berpeluang mendapatkan kerja. Apalagi pariwisata sudah ramai kembali."