Mohon tunggu...
Dewi Khalimatus Sadiyyah
Dewi Khalimatus Sadiyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menimbang Cukai atas Ozone Depleting Substances: Senjata Melawan Pemanasan Global?

27 April 2024   06:05 Diperbarui: 27 April 2024   06:14 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lapisan ozon merupakan lapisan berbentuk oksigen dengan tiga atom yang tersebar dalam stratosfer. Ketebalan lapisan ini diperkirakan setebal 35 km, relatif tipis jika dibandingkan dengan seluruh atmosfer bumi yang mencapai ketebalan 500 km. Namun demikian, lapisan ozon dinilai cukup efektif dalam menyaring semua sinar ultraviolet dari matahari yang berbahaya bagi makhluk hidup di bumi. Lapisan ozon di stratosfer menyerap energi radiasi UV yang sangat tinggi dan mengubahnya menjadi energi panas sebelum mencapai bumi. Radiasi UV memiliki gelombang lebih pendek dari cahaya, dimana radiasi yang memiliki panjang gelombang antara 280 – 315 nanometer yang dikenal dengan UV-B dapat merusak semua kehidupan. Oleh karena itu, ozon memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan di muka bumi.

Sebagai perisai yang memiliki peran vital melindungi bumi dari radiasi ultraviolet berbahaya, kini lapisan ozon terus menerus mengalami penipisan. Hal ini terjadi karena pembentukan lubang ozon, yaitu suatu wilayah yang nilai kolom ozonnya memiliki nilai jauh lebih rendah dari nilai konsentrasi ozon di sekitarnya. Berdasarkan laporan yang dihimpun dari Europan Environment Agency, lubang ozon di belahan bumi selatan memiliki luas 26,1 juta km2 pada akhir September tahun 2023, dan menjadikan lubang ozon terbesar keenam sejak awal periode pengamatan pada tahun 1979.

Para ahli sepakat, bahwa penggunaan bahan perusak ozon (BPO) atau Ozone Depleting Substances (ODS) dalam aktivitas rumah tangga maupun industri memiliki andil yang besar dalam penipisan lapisan ozon. Pada tahun 1987, komunitas internasional membentuk Protokol Montreal, sebuah perjanjian global untuk melindungi lapisan ozon. Protokol ini mencakup sekitar 100 zat yang memiliki potensi berpengaruh besar terhadap potensi penipisan ozon, termasuk klorofluorokarbon (CFC), halon, karbon tetraklorida (CTC), 1,1,1-trikloroetana (TCA), hidroklorofluorokarbon (HCFC), hidrobromofluorokarbon (HBFC), bromoklorometana (BCM) dan metil bromida (MB) yang banyak digunakan pada produk pendingin seperti lemari es, AC, hairspray hingga parfum. Karena andil yang besar bagi penipisan ozon, bahan perusak ozon (BPO) atau Ozone Depleting Substances (ODS) menjadi salah satu produk yang peredarannya perlu dikendalikan. Salah satu instrumen pengendalian yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui pengenaan cukai atas barang tertentu.

Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu  yang telah ditetapkan. Salah satu karakteristik barang yang dikenai cukai adalah barang yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Menurut Cnossen (2005), terdapat tiga dasar pemungutan cukai, yaitu selectivity in coverage (pemungutan cukai dikenakan secara selektif dengan tujuan membatasi konsumsi barang tersebut), discriminant in intent (dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja), dan some of quantitive (salah satu unsur penerimaan negara). Dalam dunia perpajakan sendiri, dikenal istilah pajak pigouvian, yaitu pajak yang dikenakan terhadap barang atau jasa yang memberikan eksternalitas negatif. Selain itu, terdapat prinsip polluter pay principle, dimana setiap orang yang melakukan pencemaran wajib membayar sejumlah  kompensasi untuk mentralkan dampak yang telah diakibatkan. 

Perlunya Perluasan Basis Cukai di Indonesia

Jika dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia termasuk negara extremely narrow coverage, yaitu negara yang memiliki objek cukai sangat terbatas. Indonesia sendiri hanya memiliki tiga jenis barang kena cukai berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.

Berdasarkan working paper kajian yang dilakukan DDTC, kawasan Asia, Amerika dan Afrika secara rata-rata memiliki 10 kategori objek kena cukai. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN saja, barang kena cukai Indonesia tergolong negara dengan objek cukai paling sedikit. Thailand misalnya, memiliki 21 objek kena cukai termasuk di dalamnya cukai terhadap produk yang merusak atmosfer. Lebih lanjut, negara dengan kategori lower-middle income memiliki sekitar 8 kategori objek kena cukai.

Berdasarkan komparasi objek cukai global tersebut, maka perluasan basis cukai di Indonesia sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini selaras dengan amanat undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP), dimana ekstensifikasi cukai menjadi salah satu kebijakan teknis kepabeanan dan cukai. Selain itu, perluasan basis cukai melalui pengenaan cukai terhadap ODS telah dicontohkan oleh beberapa negara yang telah lebih dulu memungut cukai terhadap ODS ini, seperti Kanada, New Jersey dan Denmark.

Cukai: Tulang Punggung Penerimaan Kepabeanan dan Cukai

Cukai merupakan mata air utama penerimaan kepabeanan dan cukai. Kementerian Keuangan, melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, menetapkan target penerimaan negara dari cukai naik menjadi 246,1 triliun. Kenaikan target penerimaan ini tentu membutuhkan optimalisasi penerimaan cukai, baik melalui strategi ekstensifikasi maupun intensifikasi. Berdasarkan objek kena cukainya, cukai hasil tembakau (CHT), masih menjadi tulang punggung penerimaan cukai  mencapai 90% penerimaan. Hal ini menjadikan realisasi penerimaan cukai sangat bergantung pada CHT, seperti misalnya pada tahun 2023, akibat terjadinya penurunan CHT dan Etil Alkohol, kinerja penerimaan cukai mengalami penurunan 4,25% yoy.

Cukai menjadi salah satu instrumen yang penting yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya untuk memastikan bahwa tidak ada potensi penerimaan negara yang hilang. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan belanja negara yang ditandai dengan meningkatnya target penerimaan negara, khususnya di sektor cukai, rasanya bergantung pada realisasi penerimaan cukai hasil tembakau menjadi tidak lagi memadai. Pengenaan cukai pada ODS dapat menjadi salah satu objek kena cukai yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun