Mohon tunggu...
Devy Permatasari
Devy Permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana NIM 55521120046 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Universitas Mercu Buana - Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak - Magister Akuntansi - Mata Kuliah Pajak Internasional dan Mata Kuliah Pemeriksaan Pajak

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sorga dan Neraka Pajak

20 Juni 2023   23:57 Diperbarui: 21 Juni 2023   00:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini bukanlah upeti

Bukan juga penindasan, apalagi penganiayaan

Namun, ini adalah sumbangsih kami demi membangun negeri


Ini adalah nafas bagi negeri

Penyangga agar Ibu Pertiwi tetap tegak berdiri

Kami terima upah hasil keringat kami dipajaki

Tapi, pesan kami tolong bijak kau para abdi


Kami tahu,

Banyak dari kami berlari menjauh

Tapi banyak juga dari kami tetap memberi

Mulai dari 2%, 5%, 10%, 11%, 15%, 22% sampai ada 35%

Ya, kami ikhlasan itu


Demi pembangunan,

Demi kesehatan,

Demi keamanan,

Demi jalan indah dan nyaman

Demi anak dan cucu kami


Ya kami tahu,

Pajak adalah nafas negeri

Pajak adalah tulang punggung

Pajak adalah jantung


Tapi wahai kau para abdi,

Keikhlasan kami jangan kau nodai

Kini kami melihat pajak Ibu Pertiwi dinodai


Kini nafasnya mulai terengah

Tulang punggungnya mulai patah

Jantungnya berdegub tak beraturan

Darahnya mengalir tanpa arah


Kami melihat ada segelintir nyawa membentuk sejarah suram

Menodai harapan, memporak porandakan cita


Susah payah harapan kami junjung

Tetap saja ada tikus yang menggerogoti


Jangan salahkan kami, kami semakin menjauh

Jangan 2%, 1% persen saja kami enggan

Ikhlas kami mulai tak ada lagi


Kini bayangan kami ini seperti neraka

Penyiksaan, penganiayaan, pemaksaan

Upah hasil keringat kami yang kau pajaki seperti tak bermakna

Ada yang menikmati surga di atas neraka kami


Ini tragedi

Ini tragedi

Ini tragedi


Ada yang pintar mencari surga

Dengan mencari celah kecil

Baik celah tonggak aturan

Atau celah lemahnya iman para abdi

Kini mereka sedang tertawa tawa kawan


Namun, jika kita tengok sisi lain

Ada yang seperti berada di neraka

Ada yang kecil, makin tidak bernafas


Ya, kami tahu

Kami cinta negeri ini

Cinta itu butuh pengorbanan

Sekalipun kami disakiti

Kami harus memaafkan


Percayakan kau para abdi akan benahi

Singkirkan hama, gulma, dan para tikus

Kembalikan nafas negeri

Tegakan kembali tulang punggungnya


Memang cinta itu kadang membuat patah hati

Pajak itu memang seperti beban berat

Bukankah cinta itu murni tanpa syarat?


Jangan nodai lagi cinta kami,

Biarlah kami seperti di neraka,

Tapi jangan lah yang kaya merasa di surga


Bukankah negeri itu harusnya adil

Katanya pajak juga adil?


Jangan hanya tumpuk tonggak aturan tinggi-tinggi

Jikalau hanya si miskin yang kau suruh panjat

Jangan jadikan kami makin pura-pura lupa akan kewajiban kami


Ya kami akan tunaikan pajak kami

Tapi, tunaikan juga harapan kami wahai para abdi


Selama surga hanya bagi si kaya

Dan neraka bagi si miskin

Jangan harap kami riang memberi upeti


Ratakan apa yang kami berikan

Ajak kami merasakan surga

Jangan hanya kau janjikan


Ya kami tahu makna harfiah pajak

Timbal balik tak langsung

Tapi jangan jadikan cinta kami harapan kosong


Kami percaya masih ada niat baik

Baik di mata semua

Kembalikan dan jernihkan sejarah kelam pajak negeri

Jangan buat kami terus mengingat bahwa ini penyiksaan


Jangan hanya si kaya yang dapat melihat surga

Jangan jadikan kami berada di neraka yang abadi

Kami percaya masih ada cahaya

Cahaya yang memberi harapan negeri 

Walau cinta ini terlihat terpaksa

Tapi cinta kami tulus kepada negeri

_________________________

Semoga puisi ini dapat mengingatkan semua pihak, pajak adalah bentuk cinta kami pada negeri. Tapi jangan khianati cinta kami, kami akan berusaha membayar pajak sesuai porsinya, namun mohon alokasikan pada tempatnya. Kami percaya pajak membangun negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun