Pendidikan di Indonesia membutuhkan akselerasi. Kuncinya adalah dengan memperbaiki sumber daya yang ada. Dengan kata lain, semua pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan termasuk di dalamnya seluruh elemen sekolah, seperti guru dan murid harus bisa mengerek dirinya ke batas yang paling maksimal.Terlepas dari survei internasional  Programme for International Student Assessment (PISA) hingga The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yang masih menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam dunia pendidikan (di bawah 50 besar), survei dalam negeri pun senada.
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam sejumlah aspek, sektor pendidikan Indonesia masih perlu ditingkatkan.
Salah satunya terkait dengan angka partisipasi sekolah (APS) pada kelompok usia 16-18 tahun dan 19-23 tahun yang masih kecil (bps.go.id). Tak seperti kelompok usia di bawahnya yang APS-nya sudah menembus 95 persen, di dua kelompok usia ini masing-masing masih berkisar di angka 73,15 persen dan 27,61 persen.Â
Secara tidak langsung, kondisi ini dapat diartikan bahwa masih banyak murid yang berhenti sekolah pada usia SMP atau di bawah 16 tahun.
Kenyataan yang bisa dibilang miris. Apalagi ketika melihat perkembangan dunia era Society 5.0 yang banjir teknologi serta inovasi. Perkembangan yang sejatinya bisa dikejar dengan sumber daya manusia (SDM) yang punya mentalitas serta kedisiplinan tingkat tinggi. Juga tabungan ilmu pengetahuan yang luas dan berlimpah.
Dalam konteks ini, guru memegang peranan penting. Guru bisa menjadi konselor sekaligus motivator bagi muridnya untuk bersekolah. Dengan pendidikan yang tinggi peluang mereka berperan untuk perkembangan dunia atau setidaknya memperbaiki kehidupan mereka semakin besar.
Lalu bagaimana jika kualitas gurunya pun masih dipertanyakan?
Isu rendahnya kualitas guru sering menjadi pembahasan di mana-mana. Apalagi, tak cukup dengan pembenahan sistem dan kurikulum pendidikan, perbaikan kualitas guru juga harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas. Mulai dari segi budaya dan karakter pendidikan di Indonesia, baik itu di dalam lingkup sekolah maupun luar sekolah. Hingga praktik pengajaran yang seharusnya mendapat porsi lebih dibanding aspek teoritik dan administratif di kampus-kampus. Seperti bagaimana misalnya guru akan menghadapi aneka ragam perilaku murid hingga kreasi pembelajaran di kelas-kelas.
Menilik Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's), kondisi ini mau tidak mau harus dicarikan solusinya, segera. Kemudahan akses, khususnya dalam pembiayaan pendidikan bisa terus diupayakan. Baik dalam lingkup nasional, regional, hingga internasional.
Infrastruktur Ekonomi Digital dengan QRIS Antarnegara