Menjadi guru yang berorganisasi bukan masalah gampang. Melakukan tugas sehari-hari sebagai guru di sekolah adalah satu hal. Sementara berkolaborasi dan berpartisipasi dalam tumbuh kembang organisasi adalah hal lainnya.
Waktu menjadi elemen yang sangat berharga. Pagi berangkat ke sekolah kemudian belajar-mengajar, siangnya berkutat dengan urusan rumah, kemudian sore hingga malam menata organisasi.
Kebetulan, sejak tahun 2019 saya dipercaya sebagai pengurus pusat organisasi profesi guru bernama Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN). Sempat menjadi ketua salah satu divisi, saya yang juga menjadi salah satu pendiri organisasi akhirnya didapuk sebagai sekretaris umum (sekum) di awal periode kepengurusan.
Tugasnya? Wah, luar biasa. Mulai dari mengawal pembentukan dan pengembangan organisasi di daerah, hingga menjadi corong organisasi ketika berhubungan dengan pihak-pihak eksternal. Termasuk wira-wiri ke berbagai daerah.
Walau punya latar organisasi ketika mahasiswa, menjadi pengurus pusat organisasi profesi guru tentu punya tantangan lebih. Apalagi bagi saya yang bahkan baru mengenal beberapa kabupaten dan kota di Jawa Timur, sudah harus mulai menjamah daerah lainnya se-Nusantara.
Bagaimana saya yang saat itu baru berusia 20-an harus menempatkan diri menghadapi guru-guru yang jauh lebih senior dan berpengalaman.
Untungnya, rekan seprofesi dan seorganisasi saya sangat membantu. Terutama Pak Ketua. Salam hormat, kak! Â Komunikasi pun berjalan lancar. Baik dengan sesama pengurus maupun anggota.
Termasuk saat dunia dilanda pandemi awal tahun 2020 lalu. Ketika itu, sebagai organisasi yang memperjuangkan Merdeka Belajar, kami mengupayakan konsep pembelajaran yang ramah bagi murid.Â
Sebenarnya konsep itu memang hendak diakselerasi. Menjadi salah satu napas organisasi kami. Â Bagaimana membuat kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas berpihak kepada murid. Murid menjadi subjek, bukan objek.Â
Namun wabah lantas membuatnya serba terbatas. Kendati itu tak bisa dijadikan alasan.Â