Kali ini saya mendapat kabar (lagi) dari Ibu, bahwa adik kembali dibully teman sekelasnya. Saya kesal sekaligus heran kenapa bisa ini terjadi lagi. Keluarga kami memang tidak pernah ‘terlatih’ untuk menghadapi bagaimana kerasnya dunia luar yang seringkali tanpa belas kasihan. Keluarga kami selalu berlimpah perhatian dan kasih sayang, tidak pernah sekalipun mendengar ujaran kasar yang memekakkan telinga.
Saya dan adik dididik oleh orang tua untuk menghargai orang lain, bersikap sopan, berkata santun, bahkan dengan orang sebaya sekalipun. Jadi, ketika kami mendapati perlakuan jauh berbalik dari didikan tersebut, kami tidak tahu harus berbuat apa. Sedih, sudah pasti. Putus asa, sempat terpikir.
Kami bahkan heran kenapa ada anak sekecil itu, sudah bisa menyakiti perasaan bahkan fisik orang lain. Kemana saja orang tuanya selama ini? Apa saja yang dilakukan orang tuanya selama ini? Mungkin, maaf saja, saya harus menyimpulkan bahwa mereka telah gagal menjadi orang tua, karena telah membangun karakter seorang ‘kriminal’
Kriminal? Mengapa dengan mudah saya menulis kata itu. Iya, Bullying bisa membunuh. Entah membunuh mental, atau bahkan berujung kepada bunuh diri si korban. Saya baru saja membaca berita di sini, bahwa ada anak berumur 13 tahun berakhir dengan bunuh diri karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk bagaimana menghadapi si pembully, dan kembali menjalani kehidupan normal layaknya anak-anak lain seusianya.
Jumlah korban bullying sangat mengkhawatirkan, berdasarkan data dari National Center for Educational Statistics (2015) menyatakan bahwa 1 dari 4 murid (22%) dilaporkan dibully di sekolahnya. Efek Bullying juga begitu merusak, berbahaya, membunuh secara perlahan. Seorang guru di Tamworth, Inggris memberikan ilustrasi efek Bullying dengan alat peraga apel.
Hasil akhirnya, Apel yang dijatuhkan berkali-kali walaupun tidak tampak rusak dari luar namun sebenarnya sangat rusak di dalamnya. Sang guru menambahkan, "Within my lesson I really wanted to focus on the power of just our words and the damage they may cause us inside, the pain no one can see."
Sekolah. Seringkali tempat ini menjadi media bagi para pembully beraksi. Sayangnya, pihak sekolah juga seringkali lepas tangan. Saya pernah melapor kasus adik saya kepada gurunya. Bukannya solusi yang saya dapat, mereka hanya acuh dan dengan enteng menjawab, “Ah, itu karena adikmu yang terlalu kalem saja.” Setahu saya, guru adalah orang tua kedua murid, yang seharusnya tidak hanya mendidik dan mengajar, tapi juga mengayomi. Menyedihkan sekali jika ternyata kualitas guru serendah itu ketika mengetahui anak didiknya mendapat perlakuan yang tidak layak dari teman sekelasnya.
Kemudian, pendidikan budi pekerti ataupun bimbingan konseling bukanlah alternatif, karena seakan hanya diisi dengan mengerjakan pilihan ganda di LKS, bukannya pembelajaran tentang bagaimana bersikap layaknya seperti ‘manusia yang beradab’. Pilihan ganda yang bahkan mafia paling sadis sekalipun bisa berbohong untuk sekedar menyilang jawaban yang katanya paling benar.
Saya pun pernah menjadi korban bullying, beruntung dan bersyukur saya punya Ibu, yang menjadi teman sekaligus motivator luar biasa. Satu pesan Ibu waktu itu: Balas ejekan mereka dengan elegan, dengan prestasi, bukan dengan omongan sampah seperti yang mereka lakukan.
Satu hal yang pasti, mereka merendahkan saya, itu berarti saya sebenarnya lebih tinggi daripada mereka. Bodohnya, mereka tidak bisa menyamai level saya sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan menurunkan level saya. Dari situ saya belajar bahwa: saya dan mereka tidak pernah selevel! Jika saya memperlakukan hal seperti yang mereka lakukan kepada saya, karakter saya sama saja seperti mereka.
Apa yang sebenarnya dicari si pembully? Jawabannya singkat: Pleasure. Mereka merasa senang dan hebat akan reaksi kita, semakin kita melawan, kesal atau bahkan menangis, semakin mereka akan merasakan kepuasan. Jadi, saat itu, saya menghadapi mereka dengan belajar bersikap datar.
Ejekan itu saya anggap kicauan burung yang bersiul lalu. Saya tidak melawan apalagi menjawab dengan satu kata pun, untuk apa? Mereka tidak selevel, mereka tidak akan mengerti dengan ujaran saya yang sudah di atas mereka. Kemudian saya yakin, bahwa, apapun tentang saya, bagaimana saya, siapa saya, bagaimana rupa saya hanya saya sendiri yang tahu, hanya saya sendiri yang bisa menentukan.
Kesedihan dan kebahagiaan saya bukan mereka yang mengatur. Saya tidak akan menangis karena mereka! Saya tidak akan menyerah dengan kesuksesan saya kelak hanya karena discouragement dari mereka!
Tapi memang semuanya perlu waktu. Pada akhirnya, mereka akan bosan karena saya tidak menunjukkan reaksi seperti yang mereka harapkan. Pada akhirnya, mereka akan tercengang bahwa saya sama sekali tidak seperti apa yang mereka hujatkan. Dan, kali ini saatnya pembuktian. Saya masih dalam proses untuk itu.
Namun, sudah mulai terlihat hasilnya, bukannya meremehkan, pembully saya itu jauh di belakang saya, baik dari segi pendidikan, pengalaman dan pekerjaan. Namun saya belum mau berbangga hati, saya belum puas ‘menampar’ mereka dengan elegan.
Stop Bullying. Bantu anak, adik, kakak, teman atau saudaramu dengan memberikan dukungan dan tumbuhkan kembali self esteem mereka. Jangan biarkan pembully merasa berhasil dan tertawa puas dengan pembunuhan karakternya terhadap orang lain.
Satu petikan untuk kamu yang merasakan hal yang sama:
No one can make you feel inferior without your consents (Eleanor Roosevelt)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H