Mohon tunggu...
Putu Devi
Putu Devi Mohon Tunggu... Penulis -

Ketika curahan rasa lebih indah dalam barisan kata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tanpa Ini, Tidak Akan Ada Pariwisata

8 Januari 2016   15:10 Diperbarui: 3 Agustus 2016   01:15 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu cara mempelajari pariwisata adalah dengan berwisata. Berbagai tumpukan teori dan penjelasan di bangku perkuliahan sepertinya belum lengkap rasanya jika tidak mengalami dan merasakannya langsung.Practice makes perfect, right?

Di akhir tahun 2015 ini, sebelum perkuliahan dimulai, saya mengambil kesempatan dengan mengunjungi beberapa tempat di daerah Prancis dan di luar Prancis selama dua minggu. Perjalanan saya mulai dengan menaiki TGV atau kereta cepat dari Angers menuju Bordeaux, kota di Prancis yang sangat terkenal dengan kenikmatan winenya. Sesampainya di sana, saya langsung disambut dengan arsitekturnya yang unik, Bordeaux memiliki suatu destinasi wisata yang harus dikunjungi yakni Place de La Bourse,Lucunya, persis di sebrang gedung ini terdapat Miroir d’Eau atau cermin air, sehingga ketika kita mengambil foto, terdapat refleksinya seperti ini:

[caption caption="Place de La Bourse & Miroir d'Eau, Brussels"][/caption]

Menyusuri kota Bordeaux terasa begitu menyenangkan, mata saya tak jemu menikmati setiap sudut keindahan kota ini. modernitas dan hiruk-pikuknya mampu berbaur dengan nuansa klasik tempo dulu di sekelilingnya. Ada jalanan berbatu layaknya di abad 15 dan gereja tua Saint-André yang menjadi salah satu warisan budaya UNESCO.

Dari Bordeaux, saya bertolak ke Paris. Seluruh dunia pasti sudah tahu, Paris punya ciri khas romantismenya, sehingga banyak pasangan memimpikan berada di sana. Anggunnya La Tour Eiffel yang berdiri tegak di pusat kota juga mampu menggoda puluhan juta wisatawan dan membuat Prancis selalu unggul di sektor pariwisatanya.

[caption caption="La Tour Eiffel, Paris"]

[/caption]

Saya menuju ke arah utara, dan mampir sebentar di Lille, kota kecil ini seakan berbeda dengan daerah di Prancis lainnya, beberapa gedung terlihat tidak terlalu tinggi dan perumahannya berbaris rapi dengan warna dominan cerah, seperti merah dan oranye.

[caption caption="Jalan klasik di Kota Lille"]

[/caption]

Semakin ke utara, saya mampir di Belgia dan Belanda. Kedua Negara tetangga ini (walaupun berdekatan) juga memiliki ciri khas tersendiri. Belgia terkenal dengan makanannya yang khas yakni: waffle dan coklat,  begitu pula kemegahan arsitekturnya, yang salah satunya adalah La Grand Place yang juga dinobatkan sebagai salah satu UNESCO World Heritage Site. Kemudian, mampir sebentar ke Belanda dan terkagum dengan khas kincir angin dan bunga tulipnya.

[caption caption="La Grand-Place, Brussels"]

[/caption]

[caption caption="Zaanse Schans, Belanda"]

[/caption]

Dari sekian cerita yang saya tulis sebelumnya, bisakah ditebak, tanpa apa maksudnya yang akan mengancam eksistensi Pariwisata? Baiklah, sebelum menjawab itu, saya akan kembali lagi ke teori. Teori pariwisata menegaskan bahwa setidaknya ada 4 komponen ditambah 1 pendukung untuk mengembangkan pariwisata. Keempat hal itu yakni: Attractions, Accessabilities, Ancillarries, Amenities ditambahCommunity Participation. Namun, menurut pendapat saya, ada lagi satu hal yang menjadi magnet terbesar dalam menarik wisatawan, sesuatu yang membuatnya atraktif dan hanya dimiliki oleh satu destinasi itu. Apalagi kalau bukan: UNIQUENESS       

Dari seluruh destinasi yang saya jabarkan sebelumnya, semuanya selalu memiliki ciri khas tersendiri, tidak meniru, tidak menjiplak dan hanya dia satu-satunya. Mereka memiliki ciri khas dan mempertahankannya. Ini mirip dengan ilmu manajemen “Branding”, memberikan label tersendiri yang menjadi ciri khas produk.

Ingat juga bahwa tujuan para traveler berwisata adalah menjumpai keunikan dan keaslian suatu daya tarik. Dengan ini, sebenarnya kita tidak perlu takut dengan senggolan Negara tetangga yang pernah ingin “mencuri” daya tarik negeri kita, karena para traveler sejati pastinya lebih memilih yang asli dibanding yang KW. Namun, kita juga tidak bisa santai-santai begitu saja jika satu-persatu budaya kita dicomot, bahkan sebaiknya kita semakin waspada dari sisi internal. Bisa dilihat saat ini restoran dan beberapa akomodasi di daerah wisata di Indonesia justru dengan bangganya menggunakan arsitektur Eropa atau Negara lainnya yang sama sekali tidak mencirikan Indonesia.Itu yang sangat mengkhawatirkan. Itu yang sebenarnya sangat disayangkan, karena di satu sisi tujuan turis berwisata adalah melihat hal yang baru, lalu apa jadinya jika mereka datang ke Indonesia dan melihat segalanya mirip seperti di negaranya?

Uniqueness is the main point, create and enhance it. Tidak perlu susah payah untuk menciptakan branding, kita bisa mengutip sedikit dari Alice Temperley:

"You have to stay true to your heritage, that's what your brand is about"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun