Mohon tunggu...
Putu Devi
Putu Devi Mohon Tunggu... Penulis -

Ketika curahan rasa lebih indah dalam barisan kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Guru Harus Galak?

20 Juli 2015   09:36 Diperbarui: 14 April 2016   09:49 3427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa tanda jasa, salah satu kiasan cantik yang disematkan untuk seorang guru. Membaca kalimat itu saja, tergugah di benak bahwa guru seakan pahlawan yang dengan tulus, baik hati dan ikhlas dalam memberikan pengetahuan bagi murid-muridnya. Berjuang membekali ilmunya, tapi tidak mengenal balasan saja. Ah, entah itu memang kenyataannya atau sekedar hiperbola.

Saya sendiri seorang guru. Tentunya, saya juga pernah digurui. Sangat tidak mungkin, saya menjadi seperti ini tanpa pahlawan tanpa tanda jasa itu, apalagi yang paling berbekas di kenangan adalah guru yang paling ‘ditakuti’.

Mungkin pengalaman menjadi guru saat ini yang membuat saya secara tidak sengaja mengkomparasi dan bergumam, kenapa dulu Bu Guru dan Pak Guru harus galak?

Kembali ke 10 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Matematika, adalah pelajaran yang paling saya senangi. Sayang sekali, opini saya berubah saat pertemuan pertama dengan Pak Guru itu. Salah sedikit saja, kepala dan perasaan saya jadi korbannya, entah itu dilempar dengan kapur sampai juga diomelin dan diejek yang menyinggung masalah fisik, keluarga, status sosial dan lain-lain.

Tidak hanya sampai di situ, 5 tahun setelahnya, saya duduk di bangku perkuliahan. Layaknya Déjà vu, ini terjadi lagi. Bahkan untuk berangkat ke kampus saja, perasaan saya selalu waswas. Takut salah, takut tidak bisa menjawab. Sang dosen itu seakan dewa yang tahu segalanya. Tidak boleh ada murid yang bertanya. Belajar dikelilingi rasa cemas dan takut. Bukankah itu justru memperlambat penyerapan pengetahuan? Atas pertimbangan apa dengan membuat siswa tertekan bisa membuatnya lebih cepat paham? Apakah belajar memang harus seram begitu?

Kini semua itu sudah menjadi bagian sejarah. Sejarah yang menjadi contoh untuk saya. Contoh untuk tidak akan pernah saya tiru!

Marah karena murid bodoh

Bagaimana definisi pintar? Bagaimana mengukur tingkat kecerdasan? Apakah orang yang pintar matematika bisa disandingkan dengan yang pintar bermain musik?

Inilah fenomena yang sangat menggelitik saya. Guru saya sebelumnya itu cepat sekali emosi hanya karena ilmu yang diberikannya tidak dapat ditangkap dengan baik oleh seluruh muridnya, dan berujung dengan marah, kekerasan verbal bahkan fisik. Tahukah mereka bahwa latar belakang intelejensi manusia berbeda-beda?

Pada tahun 1983, Howard Gardner meluncurkan buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam bukunya beliau mengungkapkan bahwa intelejensi manusia dibagi menjadi 7 pilar yakni: Visual-Spatial (gambar secara visual), Bodily-Kinesthetic (bergerak secara aktif), Musical (suara dan ritme), Interpersonal (berinteraksi langsung dengan teman sekelasnya), Intrapersonal (belajar secara mandiri), Linguistic (dengan bahasa), Logical-mathematical (berdasarkan logika dan penghitungan).

Dengan bijak, Gardner menyarankan bahwa pembelajaran sampai saat ini hanya terbatas pada linguistik saja, dan mempertegas untuk memvariasikannya pada jenis intelejensi yang lain:

 “Students learn in ways that are identifiably distinctive. The broad spectrum of students - and perhaps the society as a whole - would be better served if disciplines could be presented in a numbers of ways and learning could be assessed through a variety of means."

Jadi, kecerdasan tidak bisa diukur antara satu orang dengan lainnya hanya dengan mengambil salah satu pembanding saja.

Lalu bagaimana menjadi guru yang ‘baik’?

Bukan maksud untuk menggurui, tapi hanya ingin berbagi opini. Sekarang jaman sudah jauh berubah. Guru galak bukan jamannya lagi. Siswa tidak akan bisa belajar dengan baik jika dalam kondisi stress dan di bawah tekanan. Bahkan belajar itu harusnya menyenangkan. Kalaupun murid belum juga mengerti, kemungkinan besar Gurunya sendiri yang belum mengerti bagaimana cara menyampaikan dan mengajarkannya

Ada banyak referensi saat ini yang mengganti istilah guru menjadi: tutor, controller, prompter, resource, assessor, organizer, bahkan participant. Intinya, guru hanyalah memfasilitasi murid agar dapat belajar dengan nyaman dan mudah dimengerti.

Terakhir, kalau menurut saya pribadi:

  • Guru itu menjadi panutan bukan memicu ketakutan
  • Guru itu membimbing bukan hanya asal tuding
  • Guru itu memberikan koreksi bukan menyalahkan tanpa basa-basi
  • Guru itu menerima saran bukan cepat emosian
  • Guru itu memacu semangat bukannya membuat patah semangat

Sekian dari seorang murid yang juga masih belajar menjadi guru. Terima kasih untuk inspirasinya wahai guruku :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun