Media sosial sudah lekat dengan kehidupan kita saat ini. Siapa sih orang yang tidak menggunakan media sosial? Ada pasti, tapi berapa banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki akun di berbagai platform media sosial. Lalu memalui media sosial kita mulai mengenal banyak orang, Â berteman dengan orang-orang yang bahkan sama sekali belum pernah kita temui. Kita kemudian hanya menilai seseorang dari tampilan foto profil, postingan, dan lain sebagainya.
Tulisan ini nantinya berisi curhatan tentang bagaimana saya berteman dengan seseorang di media sosial tapi kemudian pada akhirnya saya meng-unfriend dia. Pasti sering dong ya menemui orang dengan berbagai macam postingan, lucu, unik, nyebelin, dan lain-lain. Kemudian sering juga pasti baca orang yang merasa dan sadar  kalo dirinya menyebalkan hingga sering membuat status, "kalau merasa terganggu dengan postingan saya tinggal skip atau unfriend saja". Sering baca postingan semacam itu? Ya, saya sering. Tapi saya bukan tipikal orang yang sering hapus-hapus pertemanan cuma karena postingan receh atau semacamnya. Kalau benar-benar ganggu samapai sering posting gambar yang tidak-tidak tentu lah ya langsung diunfriend atau kalau perlu diblock sekalian. Karena beneran, kalaupun statusnya gak penting atau mungkin dia posting jualan dan aku belum butuh ya aku tinggal skip saja, simple.
Lalu kenapa saya sampai menulis begini dan seperti menjadikan hal itu penting? Ini karena saya tidak pernah skip status seseorang yang akan saya rasani disini. Â Oke, kita mulai cerita dari awal, tapi biarkan rerasan ini tanpa menyebut nama, toh kalaupun saya beri tahu namanya kalian tidak akan mengenalnya. Saya memiliki teman di dunia nyata yang juga di facebook. Teman saya ini selalu kritis dalam melihat fenomena sosial politik dan itu memang saya tahu dari dulu. Ternyata dia memiliki teman dengan tipe yang sama, sebut saja si A. Kemudian suatu hari ketika dia berkomentar di status si A, otomatis muncullah postingan si A tersebut di beranda saya. Nah, tidak sekali dua kali postingan si A ini muncul dan menarik perhatian saya. Opini-opininya yang dia tulis di status facebook, selalu terasa masuk akal dan saya sering kali setuju dengan apa yang dia tulis. Gaya penulisan yang seringkali tajam, membuat saya merasa dia adalah orang yang kritis dan berani berpendapat. Dan satu lagi, pengetahuannya luas. Itu penilaian saya hanya dengan membaca postingannya. Waktu itu lagi rame-ramenya poitik pra-pemilu dan sedang santer-santernya membahas kedua pasangan calon presiden berikut fenomena-fenomena sosial poitik di sekitarnya. Saya kagum dengan tulisannya si A ini. Eits...jangan menduga saya jatuh cinta lalu mendekatinya. Sama sekali bukan.
Saya memang waktu itu menambahkannya dalam daftar pertemanan saya dan diterima. Saya lihat memang dia bukan tipikal orang yang pilih-pilih teman medsos, pokoknya ada friend request ya dia terima. Apa lagi dia punya usaha sendiri yang pasti memerlukan jejaring sosial yang luas untuk memasarkan usahanya tersebut. Jadi tidak heran kalo segampang itu dia menerima friend request dari saya. Lagi-lagi ini hanya penilaian saya dari melihat profil dan postingannya ya..
Kemudian dari hanya berteman dan membaca postingannya, saya mulai berani berkomentar. Ya...sebatas setuju atau tidak setuju. Karena saya menyadari kalau pengetahuan saya masih terbatas dan belum seluas dia. Apalagi saya bukan orang yang dia kenal secara fisik, jadi saya selalu menahan diri untuk tidak berkomentar banyak. Tapi sering saya menjadi lebih tahu setelah membaca statusnya. Semakin hari, saya semakin yakin kalau dia memang orang yang cerdas (minimal dibanding saya). Apa yang dia tulis sering menjadi rujukan saya untuk kemudian saya mencari tahu lebih banyak tentang suatu hal.
Semakin lama sikap asli seseorang selalu terlihat juga. Status receh dan gak penting juga sering dia posting. Saya tidak terganggu dengan itu. Dia suka berdebat dengan teman-temannya di kolom komentar itu juga sering saya tahu. Tapi kalau saya yang didebat? Belum pernah, tentu karena komentar saya tidak pernah debatable dan kedua saya sadar bukan lawan debat yang sebanding dengan dia. Hingga hari ini saya menulis ini saya unfriend dia mengapa? Karena dia mulai (akan) mendebat saya, dan saya merasa hanya akan ditelanjangi seberapa besar pengetahuan saya tentang hal yang dibahas saat itu. Waktu itu dia menulis status lebih tepatnya kritikan untuk sebuah kota. Saya berkomentar dengan nada setuju dan mengambil jalur aman dengan membuat komentar saya seperti lelucon biasa. Saya hanya berharap dia memberi like atau emoticon tertawa atau bahkan hanya membaca saja komentar saya seperti biasa. Tapi ternyata apa yang saya dapatkan kali ini? Dia membalas dengan nada menantang saya untuk menyebutkan hal-hal apa saja yang perlu dikritik dari kota tersebut. Waduh, saya langsung sadar, bukankan selama ini saya tahu saya bukan levelnya.Â
Saya langsung menyadari kesalahan saya berkomentar. Padahal saat itu saya hanya menandakan bahwa saya setuju dengan apa yang dia tulis. Baru saat ini saya merasa (akan) ditelanjangi pengetahuan saya. Sedangkan saya sangat sadar, saya ini belum banyak tahu. Jadilah saat itu juga saya meng-unfriend dia. Orang dalam dunia maya yang selama ini saya kagumi karena kecerdasannya dalam berfikir. Yasudahlah, tak apa saya tak lagi update fenomena sosial politik terkini. Toh, saya bisa membaca dari sumber lain dan perspektif  lain, bukan lagi selalu setuju dengan sudut pandangnya si A. So, bye..bye... si A. Saya ternyata terlalu rendah diri untuk menjadi salah satu temannya. Kalau kalian, adakah cerita unik yang jadi alasan untuk unfriend seseorang di media sosial?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H