Mohon tunggu...
Devi Yuanitasari
Devi Yuanitasari Mohon Tunggu... Freelancer - devi.yuanitasari@gmail.com

ingin kembali menghidupkaan hobi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Shaming di Antara Kita: Mengapa Shaming Jadi Budaya?

4 September 2019   23:15 Diperbarui: 4 September 2019   23:17 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah shaming mungkin sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Shaming berarti memberi komentar negatif terhadap orang lain dan bersifat merendahkan. Ada banyak bentuk-bentuk shaming yang sering tanpa sadar kita lakukan. Tapi banyak juga loh yang nyatanya melakukan hal itu secara sadar, terutama sering kita temui di kolom komentar instagram para selebritis misalnya.

Shaming sendiri sudah masuk kategori bullying verbal atau perundungan verbal. Karena shaming cenderung merendahkan orang lain kan. Yaitu dengan cara mengejek seseorang. Ada beberapa jenis shaming yang sering kita dengar dari body shaming, mom-shaming, baby shaming hingga yang kutemukan sendiri dari pengalaman yaitu price shaming. Opo maneh iku price shaming? Price atau harga, rego rek, rego. Itu juga bisa jadi bahan komentar netizen dan citizen loh. Mari kita bahas semuanya satu persatu.

Pertama, body shaming atau mengomentari fisik secara negatif. Mengejek fisik seseorang nampaknya sering dilakukan oleh orang-orang saat ini. Merasa dirinya lebih baik dari orang lain, sampai merendahkan dan memberi komentar negatif. Misalnya, mengatakan seseorag gendut, kurus, jelek, kusam, kucel, wajah mulai berkerut, rambut keriting, dan wes masih banyak lagi monggo disebutkan jika mau menambahkan. Hal itu adalah bentuk shaming terhadap fisik seseorang, yang dapat membuat seseorang menjadi merasa depresi dan rendah diri.

Memberi komentar secara langsung dan jelas memang tidak mungkin tanpa ada pemicunya. Misalnya si A tidak meyukai si B lalu dia mengejek fisik si B secara langsung dengan mengatainya gendut atau jelek. Itu tidak jarang terjadi kan dan tentu tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar.

Tapi yang lebih sering terjadi dan menurut saya lebih menyakitkan adalah ketika body shaming dilakukan (seolah-olah) tanpa sengaja, bahkan terhadap orang yang sebenarnya kita suka-suka saja dengan orang itu, Maksudnya tidak ada rasa benci.

Contoh, ketika seorang teman memposting sebuah foto di instagram. Foto diri dengan latar belakang sebuah tempat wisata, kemudian yang terjadi di kolom komentarnya adalah datangnya pertanyaan yang sesungguhnya tidak ada jawabannya. "kamu kok makin kurus/gendut?", "kamu kok iteman" dan kamu kok yang lainnya. Eladalaah..niatnya pamer kita lagi dimana dan berharap yang ditanyain tuh minimal, "itu dimana?", lha kok netizen salah fokus dan yang dikomentarin fisik kita. Kan ngeselin.

Yang telinga dan matanya sudah kebal sih gak masalah, lha yang punya kalau orang jawa bilang ati cilik kayak saya? Apa-apa diamasukin hati. Ya langsung minder, mikir, males makan, maag kambuh, asam ambung naik, Waduh..kok ngeri ya.. hahaha.

Apalagi tidak jarang komentar itu dikatakan secara langsung pas ketemu, yang membuat kita gelagapan gak tau harus menjawab apa. Karena sungguh wahai saudara-saudara, itu bukan pertanyaan (yang perlu dijawab), itu ejekan, saudara. Sadarilah itu!

Kedua, mom-shaming atau mengomentari pola asuh seorang ibu. Komentar yang dimaksud juga merupakan komentar yang merendahkan, karena dianggap memiliki pola asuh yang berbeda dengan yang mengomentari.

Shaming jenis ini muncul karena merasa pola asuh yang dipilih lebih baik dari apa yang dilakukan si korban shaming. Padahal seharusnya kita menyadari bahwa pola asuh adalah sebuah pilihan.

Setiap orang tua pasti memiliki pertimbangan yang terbaik bagi anaknya. Pemilihan pola asuh, cara mendidik, cara makan anak pun menjadi pilihan pribadi masing-masing ibu yang pasti sudah mempertimbangkan segala risikonya. Misalnya, seorang ibu memutuskan anaknya harus makan dengan metode baby led weaning (BLW) alias si bayi belajar makan sendiri atau spoon feeding alias disuapi. Itu kan pilihan.

Dan seorang ibu sudah memiliki pertimbangan atas pilihannya. Lalu kemudian kenapa kita mempertanyakan keputusannya? "anak kok disuapin terus. Kapan mandirinya?" atau seblaiknya "anakku sih tak suapin aja, ntsr gede juga bisa makan-makan sendiri."

Ini bahkan bukan pertanyaan kan, tapi sebuah kalimat merendahkan atas apa yang dilakukan ibu lain. Itu masih sebatas cara makan, belum lagi masalah yang lain. Duuh,..wakeh tenan lah pokoknya.

Ketiga, Baby shaming atau mengomentari bayi atau anak orang lain. Nah, ini nih yang pasti sering banget kita denger akhir-akhir ini terutama di dunia instagram. Berapa kali kita dengar berita perseteruan antara selebritis dengan netizen yang berkomentar negatif terhadap putra atau putri mereka di instagram? Sering toh?

Yang terbilang baru seorang selebgram yang anaknya dikomentarin pedas, dibilang tidak lucu, bermata kurang normal dan bahkan secara terang-terangan mengatakan tidak suka teerhadap si bayi. Sampai si ibu berhenti memposting foto anaknya selama beberapa waktu karena hal tersebut.

Haduuh, ini kenapa ya dengan mulut netizen? Apa karena mereka tidak suka dengan si ibu? Tapi kenapa kemudian mereka menyerang si bayi kecil yang tidak berdosa? Atau mereka merasa apa yang mereka tulis itu wajar saja? Sungguh keterlaluan kalau benar mereka merasa itu hal biasa. Padahal si kecil yang tidak tahu apa-apa itu sebenarnya lucu-lucu saja. Ada apa sebenarnya dengan pemikiran mereka?

Seorang ibu pasti sangat bersyukur dengan kehadiran anaknya. Mereka ingin sekali mengabadikan tiap momen milestones anak mereka. Tapi kemudian komentar negatif yang mereka dapatkan bahkan dari orang yang tidak mereka kenal. Siapa yang gak uring-uringan coba.

Keempat, price shaming atau mengomentari harga suatu barang yang dibeli oleh orang lain. Ini sih jenis shaming terbaru yang saya temukan sendiri. Dari observasi. Dari pengalaman pribadi.

Ini biasanya terjadi setelah kita membeli suatu barang atau setelah belanja. Tunggulah beberapa saat, nanti akan kau dengar beberapa komentar yang anggaplah itu lucu agar tidak menyakiti hatimu.. hehe.

"Berapa beli itu? Kok mahal? Disana loh lebih murah beda 500 rupiah loh, kan lumayan." "Kamu dapat harga berapa tadi, sepuluh ribu ya? Iho, aku beli kemarin gak sampai segitu, cums sembilan ribu tujuh ratus lima puluh loh," Dooeeeeng.

Dan komentar-komentar semacamnya yang seolah-oah ingin membuat kita menyesal membeli barang tersebut tanpa bertanya dulu kepadanya. Kan sebel ya. Padahal kita beli karena butuh atau karena kita emang sanggup beli tapi yang terjadi kita jadi merasa mengasihani diri sendiri.

Iya ya, kenapa gak beli disana aja? Kenapa gak ini, gak itu. Perasaan bersalah bisa muncul loh hanya dari komentar semacam itu. Beda 500 perak padahal, kenapa dia mempermasalahkan? dan kenapa kita jadi kepikiran?

Yang jadi pertanyaan kemudian, kenapa sih kalian merasa begitu bangga ketika lebih suka menunjukkan kalau kalian lebih tahu tempat yang murah-murah gitu? Aku kan juga mau tahu. Haha. Tapi kenapa kalian tidak menunggu orang itu bertanya, atau minimal memberi tahu dengan nada yang lebih enak didenger lah ya, bukan dengan mencibir.

Semua shaming yang kutulis tadi sungguh bisa berdampak negatif bagi yang mendengarnya. Bisa memunculkan rasa rendah diri, perasaan beralah hingga depresi.

Kita sebagai manusia seharusnya bisa mulai belajar menghargai manusia yang lain, dengan berhenti berkomentar negatif tentang kehidupan pribadi mereka.

Kita seharusnya mulai belajar untuk bisa ikut senang atas kebaikan yang didapatkan oleh orang lain. Misalnya kehadiran seorang bayi yang lucu, cukuplah kita ikut bersyukur si ibu dan bayi sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun