Mohon tunggu...
Devi Yuanitasari
Devi Yuanitasari Mohon Tunggu... Freelancer - devi.yuanitasari@gmail.com

ingin kembali menghidupkaan hobi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Shaming di Antara Kita: Mengapa Shaming Jadi Budaya?

4 September 2019   23:15 Diperbarui: 4 September 2019   23:17 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yang jadi pertanyaan kemudian, kenapa sih kalian merasa begitu bangga ketika lebih suka menunjukkan kalau kalian lebih tahu tempat yang murah-murah gitu? Aku kan juga mau tahu. Haha. Tapi kenapa kalian tidak menunggu orang itu bertanya, atau minimal memberi tahu dengan nada yang lebih enak didenger lah ya, bukan dengan mencibir.

Semua shaming yang kutulis tadi sungguh bisa berdampak negatif bagi yang mendengarnya. Bisa memunculkan rasa rendah diri, perasaan beralah hingga depresi.

Kita sebagai manusia seharusnya bisa mulai belajar menghargai manusia yang lain, dengan berhenti berkomentar negatif tentang kehidupan pribadi mereka.

Kita seharusnya mulai belajar untuk bisa ikut senang atas kebaikan yang didapatkan oleh orang lain. Misalnya kehadiran seorang bayi yang lucu, cukuplah kita ikut bersyukur si ibu dan bayi sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun