Contoh Kasus di Indonesia yang Melakukan Tindakan Kejahatan Korporasi yang Memiliki Kekuatan Hukum Tetap yang dilakukan Penindakan Hukum Oleh KPK
Kasus PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE)
   Kasus PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), sebelumnya dikenal sebagai PT Duta Graha Indah (DGI), merupakan contoh penting dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi di Indonesia. Kasus ini menarik perhatian publik dan menandai langkah signifikan dalam pemberantasan korupsi yang melibatkan perusahaan. PT NKE terlibat dalam proyek pemerintah, termasuk pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana pada tahun anggaran 2009-2010. Namun, dalam pelaksanaannya, perusahaan diduga melakukan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara, seperti penggelembungan biaya proyek dan kolusi untuk memenangkan tender secara ilegal.
   Pada tahun 2018, setelah penyelidikan mendalam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan PT NKE sebagai tersangka dan mengajukan tuntutan pidana. Jaksa Penuntut Umum menuntut perusahaan ini membayar denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp188,7 miliar. Proses hukum ini menjadi sorotan karena melibatkan korporasi besar yang beroperasi di sektor konstruksi. Pada 3 Januari 2019, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis PT NKE bersalah atas tindak pidana korupsi, menjatuhkan denda Rp700 juta dan mewajibkan pembayaran uang pengganti Rp85,4 miliar, serta mencabut hak perusahaan untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan.
   Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, KPK mengeksekusi aset PT NKE untuk menutupi kewajiban pembayaran denda dan uang pengganti. Kasus ini menjadi sejarah penting dalam penegakan hukum korporasi di Indonesia karena merupakan kasus pertama di mana sebuah korporasi dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi. Keputusan ini diharapkan memberikan efek jera bagi korporasi lain dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya integritas dalam pelaksanaan proyek pemerintah. Dengan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi, diharapkan tercipta lingkungan bisnis yang lebih sehat dan kompetitif di Indonesia.
Kesimpulan
   Edward Coke adalah tokoh berpengaruh dalam sejarah hukum Inggris, lahir pada 1 Februari 1552 di Mileham, Norfolk. Ia menempuh pendidikan di Norwich Grammar School dan Trinity College, Cambridge, sebelum menjadi anggota Bar di Inner Temple pada tahun 1578. Kariernya berkembang pesat selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, termasuk menjabat sebagai Solicitor General dan Attorney General serta terlibat dalam persidangan terkenal.
   Pada tahun 1606, Coke diangkat sebagai Ketua Hakim di Pengadilan Umum dan menegaskan supremasi hukum umum atas kekuasaan raja. Ketegangan dengan Raja James I menyebabkan pemecatannya pada tahun 1616, tetapi ia tetap aktif di Parlemen dan berperan penting dalam penyusunan Petition of Right pada tahun 1628. Karyanya yang terkenal, Reports dan Institutes of the Lawes of England, menjadi teks dasar dalam hukum Inggris dan memengaruhi prinsip-prinsip konstitusi Amerika. Edward Coke meninggal pada 3 September 1634, meninggalkan warisan sebagai salah satu ahli hukum terbesar pada masanya.
   Edward Coke juga mengembangkan konsep Actus Reus dan Mens Rea yang merupakan elemen penting dalam menentukan kejahatan. Actus Reus merujuk pada tindakan fisik yang melanggar hukum, sementara Mens Rea mencerminkan niat jahat pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Keduanya harus ada untuk menetapkan tanggung jawab pidana secara adil. Konsep ini sangat relevan dalam penegakan hukum, termasuk kasus korupsi, karena membantu memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar bertanggung jawab yang dihukum.
Daftar Pustaka
Anwar, M. "Penerapan Prinsip Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia." Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50 No. 3 (2020): 345-360.