3. Filsafat Praktis (Tentang hidup kesusilaan):
 a. Etika dan Ekonomi: Aristoteles menggunakan pendekatan biologis untuk menganalisis manusia. Manusia dianggap sebagai binatang dengan unsur khas yang memungkinkan kontrol sadar terhadap dorongan-dorongan non-rasional. Etika membahas kesusilaan dalam hidup perorangan, sedangkan ekonomi membahas kesusilaan dalam hidup kekeluargaan. Aristoteles mengakui nafsu beragam manusia dan menekankan kontrol terhadap dorongan-dorongan tersebut untuk mencapai kehidupan yang etis.
Menurut Aristoteles, manusia pada awalnya memiliki kebaikan bawaan, namun dapat mengalami perubahan sikap karena pengaruh faktor lingkungan. Aristoteles menggunakan istilah "Piolis" untuk merujuk pada komunitas sipil yang dianggapnya sebagai latar sosial kodrati manusia. Kelompok sosial "koininia" mencakup segala jenis komunitas di mana interaksi terjadi pada tingkat tertentu. Sementara itu, "Oikos" adalah jenis komunitas yang paling dasar, terbatas pada perkembangan kodrat manusia atau yang sering disebut sebagai rumah tangga. Aristoteles juga berpendapat bahwa "Polis" (kota-negara) diperlukan untuk melawan ancaman dari luar dan dibentuk untuk kesejahteraan bersama. Menurutnya, Polis yang ideal adalah komunitas orang yang setara kedudukannya, yang mengarah pada kebaikan yang sebaik mungkin.
Dalam aspek politik atau kesusilaan dalam hidup kenegaraan, Aristoteles mengklasifikasikan sistem politik menjadi beberapa tipe, antara lain:
- Monarki (kerajaan), yang diperintah oleh seorang raja untuk kepentingan semua, namun berpotensi menjadi tirani jika tidak seimbang.
- Aristokrasi, diperintah oleh beberapa orang untuk kepentingan bersama, tetapi berpotensi menjadi oligarki, memihak pada sekelompok orang saja
- Polity, diperintah oleh seluruh rakyat untuk kesejahteraan umum, namun berpotensi menjadi demokrasi jika mayoritas rakyat memerintah demi kepentingan kelompok tertentu.
Bagi Aristoteles, tidak ada sistem politik yang sempurna, sehingga diperlukan konstitusi untuk menghindari kekurangan sistem tertentu. Selain itu, Aristoteles menilai bahwa keadilan dalam suatu negara tidak dapat terlepas dari keberadaan hukum dan norma-norma yang dapat dipaksakan. Aristoteles percaya bahwa negara yang ideal adalah yang melibatkan partisipasi aktif semua warganya dalam kehidupan politik atau negara.
Dalam bidang seni, Aristoteles menyampaikan pandangannya tentang keindahan dalam "Poetike". Ia menekankan empirisme sebagai dasar pengetahuan, menyatakan bahwa keindahan berkaitan dengan keseimbangan ukuran materi. Aristoteles juga memandang seni sebagai perwujudan artistik yang melibatkan chatarsis, yaitu pengungkapan perasaan yang diarahkan keluar, disertai dengan estetika.
Pemikiran Aristoteles melibatkan konsep seperti "Hule dan Morfe" yang menjelaskan unsur dasar permacam-macam benda, serta konsep "Aktus dan Potensia" yang mencerminkan kemungkinan dan kesungguhan suatu hal. Abstraksi menurut Aristoteles mengacu pada ide bahwa ide bukanlah realitas tersendiri, melainkan sifat-sifat yang sama yang terdapat pada hal-hal konkret.
Aristoteles juga menyoroti pentingnya keadilan yang terkait secara intrinsik dengan suatu komunitas yang lebih besar dan hukum atau norma-normanya. Hukum dianggapnya sebagai instrumen untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian berdasarkan prinsip keadilan.Aristoteles menempatkan hukum sebagai sumber kekuasaan yang dapat memperkuat kedudukan para pemimpin dalam memerintah, dengan asumsi bahwa hukum dapat menumbuhkan moralitas dan kebijaksanaan pada individu yang menjalankannya.
Filsuf-filsuf yang memengaruhi pemikiran filosofis Aristoteles :
1. Herakleitos
Herakleitos merupakan salah satu filsuf yang hidup pada zaman Yunani Kuno. Filsuf ini memiliki pandangan filosofis yang unik. Dia mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun di muka bumi ini yang tinggal tetap. Segala sesuatu mengalir seperti aliran sungai. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapannya yang terkenal, yaitu panta rhei, segala sesuatu mengalir seperti sungai. Untuk mempertanggungjawabkan ungkapannya ini, dia berargumen bahwa orang tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama. Aliran sungai yang mengalir tiada henti menyebabkan airnya selalu diperbaharui. Maka dari itu, tidak ada hal yang bersifat tetap. Segala sesuatu berada dalam "proses menjadi". Hal ini mengandung pengertian bahwa segala yang ada mengalami perubahan terus-menerus. Di samping itu, Herakleitos juga mengatakan bahwa "hal menjadi" terejawantah di dalam pertentangan atau perlawanan. Jikalau para filsuf dari Miletus beranggapan bahwa ada "hal-hal yang tetap" di balik semua yang bergerak dan berubah, maka Herakleitos berpikir sebaliknya. Bagi Herakleitos, hal yang paling mendasar adalah pertentangan atau perlawanan, seperti: besar-kecil, tua-muda, dan lain sebagainya.