Mohon tunggu...
Devita Sari
Devita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo! 🦋

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Relasi Kuasa terhadap Fenomena Sexting yang Terjadi di Perguruan Tinggi

17 Desember 2022   14:46 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:02 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Di zaman modern seperti ini, perkembangan teknologi berjalan begitu cepat. Salah satu bukti nyata dari perkembangan teknologi tersebut yaitu untuk dapat berkomunikasi oleh seseorang, kita tidak akan terhalang oleh jarak dan waktu lagi, karena sudah ada media handphone/ponsel. Alat komunikasi tersebut sering kali digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan untuk menghubungi atau memberi kabar kepada seseorang. Namun, pada kenyataannya masih saja ada beberapa pihak yang menyalahgunakan penggunaan handphone ini untuk melakukan tindak kejahatan, seperti tindakan kekerasan seksual.

Mudahnya akses untuk dapat berkomunikasi melalui pesan di sebuah aplikasi yang ada di handphone sering kali membuat seseorang merasa bebas ingin mengirimkan pesan seperti apa, mengandung muatan seksual atau tidak, tanpamerasa perlu memikirkan dahulu apakah orang lain merasa terganggu atau tidak dengan pesan tersebut.

Kekerasan seksual seperti yang kita tahu bisa terjadi pada siapa pun dan dimana pun. Namun, beberapa waktu kemarin sempat ramai kasus kekerasan seksual yang dilakukan melalui media sosial seperti chat WhatsApp, Intagram, dan Facebook. Sehingga, hal ini menimbulkan istilah yang dikenal dengan sebutan Sexting. Di berbagai daerah, baik remaja ataupun orang tua pasti banyak yang tidak asing lagi dengan istilah tersebut karena fenomena sexting bisa terjadi tanpa disadari.

Sexting sendiri diartikan sebagai komunikasi baik bentuknya yang berupa pesan, suara, foto, ataupun video menggunakan alat komunikasi seperti handphone. komputer, atau alat komunikasi lain yang di dalamnya terdapat aplikasi-aplikasi yang bisa digunakan untuk bertukar pesan. Ramainya kasus sexting akhir-akhir ini di perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta juga telah menunjukkan bahwa dalam lingkungan kampus tindakan kekerasan seksual ternyata tetap bisa terjadi. Fenomena kasus sexting yang terjadi juga ternyata sering kali dilakukan oleh orang-orang yang berposisi tinggi.

Oleh karena itu, sangatlah diperlukan adanya perhatian terkait hal tersebut, karena dalam fenomena sexting ini jika akan terus terjadi dalam lingkungan kampus maka akan sangat mempengaruhi proses perkuliahan. Dengan demikian, dalam melihat tindak kekerasan seksual kita perlu untuk lebih jauh mencari tahu mengapa seseorang bisa melakukan tindakan tersebut dan sering kali memanfaatkan kekuasaan sebagai bentuk dominasi terhadap orang lain.

Dengan perbedaan posisi ini, maka dari itu kekerasan seksual sangat rentan terjadi karena adanya relasi kuasa yang begitu kuat. Sehingga, ketika korban mengalami tindak kekerasan seksual sering kali merasa bingung harus melaporkan hal tersebut atau tidak.

Salah satu kasus kekerasan seksual yang terjadi karena adanya relasi kuasa, seperti yang dikutip dari web konde.co mengatakan bahwa seorang perempuan yang bekerja di Kementrian Koperasi dan UKM telah diperkosa. Namun, dia malah dipaksa untuk menikah dengan pelaku tersebut. Pernikahan yang berlangsung sesaat ini ternyata dilakukan agar para pelaku bisa bebas dari penjara.

Dari kasus tersebut, telah menunjukkan bahwa adanya seseorang yang memainkan kekuasaan agar bisa terbebas dari hukuman. Karena, selain pelaku dan pihak keluarganya yang memaksa untuk menikahkan korban dengan pelaku, pihak kepolisian sendiri nyatanya ikut andil dalam pernikahan. Maka dari itu, tindakan kekerasan seksual yang terjadi akibat adanya relasi kuasa terkadang membuat korban merasa bingung harus berbuat apa dan akhirnya hanya mengikuti arahan saja karena hak atas dirinya telah didominasi oleh mereka yang berkuasa.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja, baik yang dilakukan secara langsung ataupun melalui media komunikasi seperti handphone yang dikenal dengan sexting. Karena, fenomena sexting ini sering kali terjadi namun terkadang masih ada beberapa orang yang belum menyadari bahwa dia telah mendapatkan kekerasan seksual melalui komunikasi yang terjadi.

Fenomena Tindakan Sexting di Lingkungan Kampus

Kekerasan seksual dapat dikatakan merupakan sebagai sebuah tindakan yang sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan bisa terjadi di lingkungan keluarga, teman, sekolah, bahkan pekerjaan. Selain itu, sering kali seseorang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada mereka yang lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Karena, dia merasa ketika melakukan hal tersebut kepada orang yang lemah dia bisa mendominasinya dengan kuasa yang dimilikinya.

Berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan sejak Januari sampai November menyatakan telah menerima sebanyak 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, yang di dalamnya termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik, dan di ranah personal sebanyak 899 kasus. Melalui data ini bisa kita lihat bahwa kasus kekerasan seksual semakin hari semakin marak terjadi.

Selain itu, kekerasan seksual bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah yang sering kita dengar seperti fenomena sexting. Menurut Rangga, pada dasarnya kata sexting berasal dari kata Seks (Sex) dan Short Message Service atau yang lebih sering di dengar oleh masyarakat dikenal dengan SMS (Texting).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sexting adalah suatu bentuk komunikasi yang dilakukan melalui alat elektronik atau handphone, yang berisikan sebuah pesan, gambar, suara, atau video dengan muatan seksual. Sehingga, sexting juga bisa dikatakan masuk ke dalam salah satu bentuk kekerasan seksual sebab mengandung tindakan berbau seksual.

Baru-baru ini, telah ramai terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Seperti yang dikutip dari web didaktikaunj.com dalam beritanya berjudul "Kekerasan Seksual di UNJ oleh Dosen, Gerpuan UNJ Buka Layanan Pengaduan" menjelaskan bahwa salah satu dosen dari Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berinisial DA, diduga telah melakukan kekerasan seksual kepada beberapa mahasiswa UNJ, yaitu mengirimkan pesan yang sangat tidak  pantas dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswinya. Tindakan kekerasan seksual dalam bentuk sexting ini terjadi melalui salah satu aplikasi yaitu WhatsApp dan sudah tersebar luas di Twitter.

Sebuah tangkapan layar berisikan percakapan DA dan korban memperlihatkan bahwa korban ingin melakukan bimbingan skripsi. Namun, ketika bertanya perihal waktu untuk bimbingan kepada DA dia malah mendapatkan balasan pesan berbasis seksual seperti "I love kamu" dan memanggilnya dengan sebutan "Sayangku". Selain itu, korban juga dikirimi pesan yang berisi pertanyaan "maukah kamu menikah dengan saya?". Hal-hal seperti inilah yang dapat membuat proses perkuliahan akhirnya tidak efektif dan sangat berpengaruh bagi psikis korban karena telah mendapatkan kekerasan seksual dari dosennya melalui media komunikasi.

Kemudian, pihak kampus sendiri mengatakan baru mendengar perihal kasus tersebut dan telah menugaskan Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dari Fakultas Teknik untuk mengurus hal tersebut. Dan untuk menangani kasus tersebut, dikatakan oleh Wakil Dekan bahwa masih memverifikasi pihak-pihak yang diduga berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Analisa Fenomena Sexting melalui Teori 

a. Kekuasaan Menurut Michel Foucault

Menurut Haryatmoko, kekuasaan bisa datang darimana saja dan kapan saja tanpa memandang tempat. Maka dari itu, bisa dikatakan hubungan kekuasaan tidak dapat lepas dari hubungan-hubungan dalam aspek yang lain, seperti aspek ekonomi,  ilmu pengetahuan, serta hubungan seksualitas yang terjadi dalam kehidupan sehar-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, memang sering kali dalam interaksi suatu individu terjadi ketimpangan karena adanya pihak yang berkuasa dan dikuasai. Inilah kondisi yang akhirnya dikenal dengan istilah relasi kuasa. Focault sendiri menganggap bahwa kekuasaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak kasat mata.

Focault mengatakan hal demikian karena menurutya ketika terjadi ketimpangan kekusaan dalam relasi, maka kemungkinan akan membuat salah seorang bisa saja bertindak lebih jauh dengan menindas yang mereka yang tidak memiliki kuasa atas dirinya sama sekali. Sehingga, akhirnya hanya orang-orang berkuasa saja lah yang bisa menindak orang lain dengan bebas.

Sering kali dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat terjadi relasi yang timpang kekuasaannya. Namun, hanya segelitir orang saja yang menyadari ketimpangan tersebut. Sebagai contoh, dalam lingkungan pendidikan terdapat guru dan murid dalam ruang-ruang pembelajaran. Ketika proses pembelajaran berlangsung, sering kali guru hanya menjelaskan materinya saja dan tidak mengindahkan muridnya untuk mengemukakan pendapatnya. Sehingga, bisa kita lihat bahwa pembelajaran yang terjadi dalam ruang kelas terkadang hanya didominasi oleh pihak gurunya saja, karena muridnya secara alamiah menyadari sang guru memiliki kuasa yang lebih tinggi. Jadi, bisa melakukan banyak sesuai

dengan kehendaknya meskipun tidak memperdulikan pendapat muridnya.

Hal tersebut telah menunjukkan bahwa benar kekuasaan menjadi hal yang tidak bisa kita lihat, namun sering kali dapat dirasakan. Sehingga, sangat penting sebetulnya bagi suatu individu untuk dapat memahami bagaimana kekuasaan dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Karena, jika kita tidak bisa menyadari adanya ketimpangan kekusaaan dalam sebuah relasi, maka bisa membuat diri kita terus-menerus menjadi obyek bagi dunia orang lain.

Selain itu, Focault tidak hanya berbicara tentang kekuasaan, tetapi juga menyinggung soal pengetahuan, yang sebetulnya kekuasaan dan pengetahuan saling berkaitan erat.

Focault memandang bahwa kekuasaan lah yang akhinrya menciptakan atau menghasilkan pengetahuan. Dia memandang pengetahuan seperti itu karena nantinya pengetahuan dibentuk oleh para pemegang kekuasaan melalui nilai-nilai untuk diadopsi dan dinormalisasikan dalam masyarakat.

Adanya niai-nilai yang diadopsi ini biasanya terjadi melalui struktur yang ada di lembaga-lembaga masyarakat. Melalui nilai-nilai itulah nantinya menghasilkan atau mereproduksi berbagai bentuk kenormalan-kenormalan dan jug ketidaknormalan oleh subyek yang berkuasa tersebut. Dimana masyarakat nantinya akan terbiasa dengan hal-hal yang sebetulnya tidak normal, dan menganggap hal-hal yang tidak normal sebagai suatu bentuk kenormalan.

Oleh karena itu, untuk dapat menjadi suatu individu yang utuh kita harus bisa bertindak ketika berada dalam suatu relasi yang kuasanya timpang. Dengan begitu, kita tidak akan menjadi obyek bagi subyektivitas orang lain.

b. Kekuasaan dan kaitannya dengan seksualitas

Di antara banyaknya hubungan yang ada di masyakat, seperti di antara laki-laki dan perempuan, majikan dan bawahan, kepala keluarga dan anggota keluarga, sebetulnya akan selalu ada relasi-relasi kekuasaan yang sering kali dianggap remeh dan cenderung adalah hal sepele. Padahal lewat hal-hal sepele inilah akhirnya bisa memunculkan berbagai tindak kejahatan, seperti tindak kekerasan seksual.

Kekerasan seksual sering kali terjadi karena adanya ketimpangan dalam relasi kuasa, dimana laki-laki merasa dirinya superior dan membuat dirinya jadi menganggap dapat melakukan berbagai hal kepada mereka yang inferior. Maka dari itu, kekuasaan sangatlah erat kaitannya dengan seksualitas.

Seperti kasus yang dijelaskan sebelumnya dalam perguruan tinggi negeri terjadi kekerasan seksual berupa sexting yang dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswi yang ingin melakukan bimbingan. Melalui kasus tersebut, terdapat dua posisi yaitu dosen dan mahasiswa. Secara alamiah, mahasiswa cenderung akan merasa inferior karena nilai yang dianut oleh masyarakat selama ini dosen berkuas dan mahasiswa tidak.

Karena hal itulah akhirnya dosen tersebut melakukan sexting ke mahasiswinya sebab dia merasa dirinya mempunyai kuasa terhadap mahasiswi tersebut. Bahkan, ketika mahasiswi tersebut tidak menanggapi pesan berbau seksual yang dikirimkan olehnya, tetap saja dia terus melanjutkan aksinya yaitu mengirimkan pesan-pesan yang tidak seharusnya dia kirim.

Akan tetapi, mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual ini bisa saja sebenarnya sudah menyadari bahwa dia harus melaporkan hal tersebut ketika baru saja terjadi. Namun, bisa saja dia tidak melaporkan hal tersebut karena bisa merasakan adanya relasi kuasa yang begitu kuat. Apalagi, posisinya dia hanya sebagai mahasiswi dan pelakunya seorang dosen.

Melalui kasus tersebut telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada dalam masyarakat sebetulnya sangatlah berkaitan dengan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Akan tetapi, terkadang masih ada beberapa orang yang belum menyadari hal tersebut dan menganggap kekerasan seksual terjadi karena aspek-aspek lain.

Memang benar hal itu bisa dianggap benar. Namun, kita perlu untuk membuka mata dan melihat lebih jauh bagaimana kekerasan seksual bisa terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya seperti adanya relasi kuasa yang begitu kuat.

Kesimpulan

Di zaman modern seperti saat ini, teknologi semakin berkembang pesat dan memunculkan berbagai media komunikasi. Salah satunya yaitu seperti handphone. Handphone sebagaimana kita ketahui berfungsi sebagai alat berkomunikasi. Melalui handphone juga akhirnya suatu individu dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain tanpa perlu harus bertemu secara tatap muka.

Namun, sering kali penggunaan handphone ini disalahgunakan oleh sebagian orang. Salah satunya seperti melakukan tindak kekerasan seksual melalui pesan yang dikenal dengan sebutan sexting. Sexting merupakan kegiatan berkirim pesan berupa teks, foto, atau video yang terdapat unsur-unsur seksual.

Fenomena sexting akhir-akhir ini terjadi dalam lingkungan pendidikan yaitu di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sexting yang terjadi tersebut dilakukan oleh dosen kepada mahasiswinya. Sehingga, hal ini berkaitan erat dengan relasi kuasa Michel Foucault.

Foucault memaknai kekuasaan sebagai bagian yang tidak kasat mata dan tidak lepas dari persoalan terkait ekonomi, politik, atau pendidikan. Adanya ketimpangan dalam relasi inilah nantinya dapat memunculkan terjadinya tindak kekerasan seksual, karena ada orang yang mendominasi relasi tersebut.

Maka dari itu, ketika melihat adanya tindak kekerasan seksual, kita tidak bisa hanya memandangnya sebagai hal yang sepele karena hal ini sangat berpengaruh bagi keberlangsungan suatu individu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, kepada siapa saja, dan dalam bentuk apa saja, seperti fenomena sexting yang sering kali terjadi dalam lingkungan pendidikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun