Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Tepatkah Menerapkan Pola Asuh Helicopter Parenting pada Anak?

13 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 15 Mei 2022   07:05 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pola asuh helicopter parenting (Sumber: independent.co.uk)

"Kamu di mana, Yudis? Ini sudah jam 5, ayo pulang!" Suara seorang ibu terdengar dari handphone anak lelakinya yang sudah remaja, setelah mengirim beberapa WA chat berisi hal yang sama.

"Kamu tenang saja, nanti papa bicara ke Pak Imam supaya kamu bisa masuk kelas unggulan dan ikut pertukaran pelajar," seorang ayah meyakinkan anaknya yang sedang menangis sesegukan. Ika tidak lulus seleksi masuk kelas unggulan sehingga tidak punya kesempatan ikut program pertukaran pelajar. 

"Jangan main sama si Umi lagi. Dia tidak pintar dan tidak kaya. Kamu tidak akan sukses kalau berteman dengan dia," nasehat orang tua Rika untuk yang kesekian kalinya. Seluruh teman dekatnya diseleksi oleh orang tuanya berdasarkan segala macam pertimbangan.

"Gimana gurunya ini? Kok ngasih PR sulit semua? Sudah sini mama yang kerjakan, nanti kamu sakit pula," Reny pun rebahan sambil main HP karena PR-nya sudah diambil alih ibunya.

***

Familiar dengan contoh-contoh kejadian di atas? Atau malah Anda sendiri adalah orang tua yang melakukan hal tersebut pada anak-anak Anda? 

Selalu membayangi anak di manapun dia berada, mengatur jadwal kegiatannya, tidak memberikan kesempatan padanya untuk berkreasi, bergaul dan tumbuh menjadi diri sendiri, atau bahkan mendatangi guru dan bernegosiasi agar anaknya mendapat nilai bagus dan lulus ujian.

Model pengasuhan seperti ini disebut dengan helicopter parenting. Istilah helicopter parenting pertama kali digunakan di buku "Parents & Teenagers" karya Dr. Haim Ginott pada tahun 1969 oleh para anak remaja yang merasa orang tua mereka "melayang di udara" seperti helikopter, selalu mengawasi mereka setiap saat "dari atas". 

Dengan kata lain, orang tua punya fokus berlebih atau overprotektif pada anak-anaknya, mengambil semua tanggung jawab seluruh pengalaman anak terutama yang berhubungan dengan kesuksesan dan kegagalan. 

Adapun ciri-ciri helicopter parenting antara lain overprotektif, menunjukkan reaksi berlebihan terhadap kondisi anak, penuh kendali kontrol atas anak, mengatur semua jadwal anak, dan adanya tuntutan akademis yang tinggi.

Anak yang telah masuk usia sekolah biasanya sudah mulai mandiri dan mampu menangani keperluan diri sendiri. Misalnya, dalam hal membenahi buku-buku pelajaran, mengatur jadwal, dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Nah, dalam kasus helicopter parenting, orang tua akan memegang kendali penuh terhadap kehidupan anak, termasuk keinginan dan keputusan yang seharusnya sudah bisa ditentukan dan dilakukan sendiri. Orang tua ini memiliki kecenderungan untuk mengendalikan, melindungi, dan mencari kesempurnaan bagi sang anak.

Kekhawatiran orang tua akan ekonomi, lapangan pekerjaan, dan dunia secara umum dapat mendorong orang tua untuk lebih cenderung mengatur anak. 

Tujuannya biasanya adalah agar anak tidak pernah terluka dan merasakan kekecewaan. Kadang orang tua terlalu berjaga-jaga agar anaknya tidak mengalami masa kecil tidak menyenangkan seperti yang pernah dialaminya dulu.

Namanya orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Melindungi anak adalah naluri setiap orang tua. Namun, perlu disadari bahwa apa yang dianggap terbaik menurut orang tua, belum tentu benar-benar yang terbaik untuk anak. Seperti yang kita ketahui bahwa kata "terlalu" hanya akan memberikan akibat negatif di masa depan. 

Helicopter parenting dapat menghambat perkembangan kecerdasan dan kemandirian anak. Anak-anak ini akan menunjukkan tingkat ketidaknyamanan diri, kegelisahan, dan depresi yang lebih tinggi di tahap perkembangan selanjutnya. 

Selain itu, helicopter parenting juga dapat membuat anak tumbuh menjadi arogan karena merasa dirinya istimewa dan selalu terjaga dari kegagalan dan kesulitan hidup.

Usia anak pastinya perlu pengawasan dari orang tua. Akan tetapi, mereka juga perlu merasakan perjuangan, kegagalan, kekecewaan dan berbagai pelajaran hidup agar dapat menjadi manusia dewasa dan sehat mental.

Bagaimana cara yang tepat agar anak tetap terpantau tanpa perlu menjadi "helikopter"?

Pertama, yang perlu dilakukan adalah sadari dan selesaikan masalah pribadi Anda. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan adalah manifestasi dari masalah yang belum selesai di dalam diri sendiri. 

Sering kali masalah itu tidam ada hubungannya dengan anak. Bisa jadi Anda dulu pernah mengalami kesulitan di masa kecil dan orang tua Anda tidak ada untuk membantu. 

Bisa jadi orang tua Anda juga mendidik dengan cara penuh kecemasan. Atau ada masalah menahun dengan pasangan atau pekerjaan yang kemudian membuat Anda mudah cemas. Maka, sadari dulu kondisi diri sendiri lalu selesaikan masalah pribadi Anda. 

Kedua, yakinlah bahwa anak Anda MAMPU. Dia punya kemampuan untuk melakukan tugasnya dan mampu belajar jika belum bisa melakukannya. 

Ketiga, biarkan anak melakukan sendiri kegiatannya agar dia terlatih untuk mandiri.

Keempat, mengawasi dan memberikan bantuan secukupnya saja.

Kelima, berikan kesempatan anak untuk memilih dan membuat keputusan yang dirasanya paling tepat. Anda cukup memberikan pandangan atas setiap alternatif yang ada. 

Keenam, hargai usaha anak baik saat dia berhasil maupun saat gagal.

Ketujuh, jika anak gagal, lalai, atau melakukan kesalahan, ajak dia berdiskusi dua arah dan berikan masukan yang logis. Kemudian biarkan dia mencoba kembali.

Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi anak yang yakin akan kemampuannya sendiri. Dia akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan berkembang optimal. 

Semoga bermanfaat,

Devira Sari, Psikolog
2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun