Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

SAUDADE : Kehilangan dan Kerinduan

2 Juni 2020   19:38 Diperbarui: 2 Juni 2020   20:59 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"the way to love anything is to realize that it may be lost" (GK. Chesterton)

Seorang rekan seprofesi saya pernah berkata pada saya bahwa pandemik Covid-19 ini membuat jarak semakin jauh. Jarak yang paling dekat adalah FLASHBACK. Saya tertawa mendengar kata-katanya, dan dengan spontan mengiyakan.

Masa di mana perubahan besar-besaran harus kita lakukan. Banyak kegiatan yang berhenti, kehilangan interaksi langsung dengan teman-teman, kehilangan pekerjaan, kehilangan rutinitas. Sekian waktu di rumah saja, membuat pikiran kita melayang-layang kemana-mana.

Belum lagi kecemasan tinggi karena penyebaran virus yang sulit terkontrol serta keadaan ekonomi yang nge-drop. Kita pun tak mampu lagi memikirkan masa depan. Ketidakpastian dan keheningan menarik kita mundur ke belakang.

Masa lalu yang berusaha kita tinggalkan dan lupakan saat kita berusaha mengejar masa depan. Sementara kita terhenti, masa lalu pelan-pelan mengejar kita dan mulai menghantui kita kembali.

Beberapa waktu lalu saya mengikuti webinar dari Universitas Indonesia tentang Duka dan Kehilangan yang dibawakan oleh Ibu Sali Rahadi Asih, Ph.D, Psikolog. Dari penjelasan beliau saya mengetahui bahwa kehilangan ada dua jenis : primer dan sekunder.

Kehilangan primer merujuk pada kehilangan seseorang/sesuatu yang mana kita telah menginvestasikan energi emosi kita di dalamnya. Contoh: kehilangan orang yang dicintai. Sedangkan kehilangan sekunder adalah kehilangan yang mengikuti kehilangan primer.

Dampak dari kehilangan sekunder bisa lebih mengganggu dibandingkan kehilangan primer karena umumnya kehilangan ini menuntun pada berbagai macam kehilangan lainnya. Contoh: kehilangan suami menyebabkan kehilangan suport finansial, kehilangan anak menyebabkan hilangnya masa depan dan impian

Kehilangan sekunder, membuat saya paham mengapa orang sulit sekali move on dari kehilangan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Karena suatu kehilangan dapat  menimbulkan efek jangka panjang bagi orang yang ditinggalkan. Karena luka yang ditimbulkan bukan hanya akibat kehilangan orangnya dan kenangan, melainkan juga kehilangan tempat bersandar, serta kehilangan mimpi-mimpi dan masa depan bersama orang yang telah pergi itu.

Dan perlu diingat bahwa semua orang bisa mengalami kehilangan, namun tidak semua orang mengalami duka akibat kehilangan. Seberapa besar dampak kehilangan tergantung pada makna atau signifikansi yang diberikan terhadap kehilangan tersebut. Kehilangan orang yang signifikan merupakan pengalaman paling membuat stres dalam kehidupan manusia.

***

Saya ingin bercerita mengenai pengalaman kehilangan paling berat dalam hidup saya. Kehilangan ibu. Kejadiannya sudah sangat lama, namun saya sadari emosinya masih terasa dan kadang muncul ke permukaan hingga sekarang.

Ibu saya menderita penyakit kronis selama bertahun-tahun dan memang sudah sering bolak balik dirawat di rumah sakit (bahkan masuk ICU). Ditinggal ibu saya opname berminggu-minggu adalah hal biasa bagi saya.

Saya jarang mengunjungi apalagi sampai menginap di rumah sakit untuk menunggui ibu saya. Selain karena masih anak-anak, rumah sakit tempat ibu saya biasa dirawat berada di luar kota sementara saya tidak bisa bolos sekolah.

Biasanya, tiap tahun di hari ulang tahun saya, ibu saya membuatkan cake ultah kesukaan saya. Ulang tahun saya tidak ada perayaan dan hanya acara makan cake bersama keluarga saja karena saya tidak begitu suka kegiatan ramai-ramai terutama jika saya menjadi pusat perhatiannya. 

Namun hari itu berbeda dari biasanya. Ibu saya opname di rumah sakit selama berminggu-minggu dan bolak balik masuk ICU. Seminggu lebih saya tidak mengunjunginya. Tidak masalah bagi saya, karena saya tahu seberapa lamapun ibu saya tinggal di rumah sakit, ia pasti kembali ke rumah.

Hari itu, sehari sebelum hari ulang tahun saya, katanya ibu saya kangen dan meminta saya datang ke RS. Saya pun bersiap pergi ke RS. Di perjalanan saya terjatuh dan kaki saya terluka. Tidak parah namun berdarah banyak. Waktu itu hujan sangat deras dan baju saya basah kuyup, jadi saya di antar pulang ke rumah.

Tadinya saya hendak ganti baju saja dan mengobati luka di kaki saya. Tapi koq rasanya badan saya sakit semua. Maka saya urungkan niat saya pergi dan menunda sampai besok saja. Seharian saya meringis kesakitan di rumah dan berharap ibu saya ada di situ. Di luar hujan masih sangat deras di luar dan saya sendirian di rumah.

Menjelang subuh ada keluarga yang datang ke rumah, meminta saya bersiap pergi ke RS. Mereka tidak menjelaskan apa-apa pada saya, namun saya paham bahwa kali ini, tidak seperti biasanya, ibu saya tak akan kembali lagi. Ibu saya pergi lewat tengah malam setelah hari ulang tahun saya. Seketika "jalan" di depan saya blur, saya tidak tahu akan kemana hidup membawa saya setelah ini.

Di RS, saya melihat orang-orang bersedih dan sibuk mengurus banyak hal. Saya memutuskan untuk berkeliling RS, bertemu dengan beberapa keluarga pasien. dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Beberapa jam kemudian, matahari sudah tinggi, kami semua bersiap membawa ibu saya ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana.

Saya ingat, sejak malam itu hingga pemakaman ibu saya selesai, tidak ada tangis dari mata saya. Tentu saja saya bersedih. Mana mungkin tidak. Saya tidak hanya kehilangan ibu, saya juga kehilangan figur dependen saya, orang tidak pernah menertawakan se-absurd apapun mimpi-mimpi saya.

Orang yang selalu mendukung saya meskipun orang-orang tidak yakin saya mampu berdiri di kaki saya sendiri. Saya kehilangan orang yang menuntun saya menuju masa depan saya.

Ntah lah, mungkin air mata saya sudah habis karena menangis seharian saat kaki saya terluka. Atau mungkin juga karena saya melihat semua orang sudah menangis dan ternyata tak mengubah apapun. Saya belajar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

Setelah pemakaman selesai, keluarga saya sibuk mengurus banyak hal. Selama beberapa minggu saya tinggal bertiga dengan nenek dan kakek saya dan mendengarkan cerita-cerita mengenai ibu saya dan masa lalu. Sepertinya dari 8 orang anak kakek saya, ibu saya adalah yang paling istimewa.

Saya rasa masa itu adalah titik dimana saya mengalami perubahan minat dari seni ke minat sosial (manusia). Meski ada beberapa orang yang menilai saya cuek dan sombong, but i do love people. I care about people. Terlalu peduli malah ^_^

Saya suka mendengarkan orang-orang bercerita dan menangis. Lucu juga ya, padahal saya sendiri tidak suka menangis dan tidak suka curhat hahaa. Saya juga suka membaca kisah-kisah. Menelaah apa yang terjadi pada diri seseorang dan bagaimana perjalanan hidupnya sehingga ia menjadi dirinya yang sekarang.

Sampai saat ini, bekas luka jatuh di kaki saya masih ada. Bekas lukanya tidak besar, namun setiap melihatnya saya teringat momen itu. Bukan saya tidak mengikhlaskan, bukan pula saya suka hidup di masa lalu.

Saya rasa semua orang yang pernah merasakan kehilangan figur signifikan (orang tua, pasangan, anak, soulmate dll) memahami bahwa terkadang seseorang terlanjur masuk terlalu dalam ke inti jantung kita. Sehingga saat ia keluar dengan paksa dari sana, maka terjadi robekan besar dan membuat lubang permanen yang mungkin tak akan pernah menutup kembali. Jangan tanya tentang sakitnya.

Sebagian kehidupan kita tercabut, namun sayangnya kita tidak ikut mati bersamanya. Kemudian, seperti puzzel yang kehilangan satu kepingannya. Kita berusaha menggantinya dengan kepingan lain, dan menemukan bahwa tidak ada yang benar-benar pas. Pasti akan ada celah, meski itu kecil.

Kita terus memaksanya, mengubah posisinya, mengubah bentuknya, memanipulasinya, namun apapun yang kita lakukan justru hanya membuat kita semakin frustrasi.

Lalu kita belajar, satu-satunya cara adalah menerima. Membiarkan lubang itu tetap di sana dan menerima kondisi itu sebagai bagian dari hidup kita. Menerima bahwa kenangan itu dapat hadir kembali bersama emosi-emosi yang menyertainya. Bahwa orang itu tidak akan tergantikan. Begitulah kenyataannya.

Kita bisa saja menemukan orang baru, namun bukan untuk menggantikan, melainkan untuk meneruskan jalan kehidupan kita dan menuliskan kisah-kisah baru di masa depan.

Sampai saat ini, terkadang ada rasa bersalah dan menyesal dalam hati saya. Kalau saja saya mau sedikit memaksa diri untuk datang ke RS hari itu. Semestinya saya ikut tinggal di RS  Seandainya saja saya lebih berhati-hati di jalan. Tapi berandai-andai tak akan menyelesaikan masalah, malah hanya memberi kendali pada setan. Mungkin memang begitu jalan ceritanya.

Kalau saya ngotot ke RS saat itu bisa saja "luka" saya lebih parah karena menyaksikan kondisi-kondisi yang menyedihkan. Atau ada hal lain yang tidak mampu saya hadapi. Mungkin pula jika ibu saya masih ada, saya tidak akan sekuat dan semandiri sekarang. Waallahualam bishawab...

Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghiran

Jakarta, 02 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun